Rabu, Desember 23, 2009

HUKUM ACARA PERDATA


  HUKUM ACARA PERDATA
  Karsam Sunaryo


_ Hukum Acara Perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara mengajukan perkara-perkara perdata ke muka pengadilan (termasuk juga Hukum Dagang) dan cara-cara melaksanakan putusan-putusan hakim. Dapat juga dikatakan peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara memelihara dan
mempertahankan Hukum Perdata Materiil.
_ Menurut Wirjono Prodjodikoro Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindakan terhadap dan di muka pengadilan serta cara bagaimana Pengadilan harus bertindak satu lama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
_ Izaac S. Leihitu menyatakan bahwa : Hukum Acara Perdata adalah peraturan-peraturan yang mengatur tentang cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam hukum perdata materiil melalui Pengadilan.

Sejarah perkembangan peradilan di Indonesia.
_ Peradilan di Indonesia telah mengalami tiga zaman :
1.    Zaman Pemerintahan Hindia Belanda (1848-1042).
2.    Zaman Pendudukan Jepang (1942 - 1945).
3.    Zaman Kemerdekaan Republik Indonesia (1945 - sekarang).
_ Menurut Inlandsch Reglement tahun 1848 peradilan di Indonesia untuk bangsa Indonesia, dalam perkara perdata ditentukan sebagai berikut :
v  District-gerecht ;
v  Regentschap-gerecht ;
v  Landraad ;
v  Raad van Justitie, (RvJ) ;
v  Hooggerechtshof (HGH).
_ Pada Zaman Pendudukan Jepang semua badan peradilan dari Pemerintah Hindia Belanda dihapuskan, kemudian diubah namanya yaitu :
Ø  Landraad menjadi Tihoo-Hooin, (Pengadilan Negeri).
Ø  Landgerecht menjadi Keizai-Hooin (Pengadilan Kepolisian).
Ø  Regentschap-gerecht menjadi Ken-Hooin (Pengadilan Kabupaten).
Ø  District-gerecht menjadi Gun-Hooin (Pengadilan Kewedanaan).
Ø  Raad van Justitie menjadi Koo-Too-Hooin (Pengadilan Tinggi),
3     Hooggerechtshof menjadi Saikoo-Hocin (Mahkamah Agung).
_ Pada zaman Kemerdekaan Republik Indonesia susunan peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut :
Ø  Pengadilan Negeri.
Ø  Pengadilan Tinggi.
Ø  Mahkamah Agung.

Landasan Hukum Acara Perdata
Pada masa penjajahan Belanda untuk hukum acara perdata berlaku Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) untuk golongan Eropa dan Herzeine Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang Dibaharui (RID) untuk golongan Bumi Putra di Pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura berlaku Rechtsreglement Buitengewesten (RBg).
_ Badan peradilan pada masa ini ialah :
1.    Raad van Justitie dan Residentie Gerecht untuk golongan Eropa ;
2.    Landraad untuk golongan Bumi Putra.
Pada masa penjajahan Jepang badan-badan peradilan di atas dihapuskan, kemudian Landraad diubah menjadi Pengadilan Negeri. Melalui UU no. 20 tahun 1947 dibentuk Pengadilan Tinggi. Mahkamah Agung dibentuk dengan UU No. 1 tahun 1950 untuk perkara kasasi. Dengan adanya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa kita kembali ke UUD 1945, maka melalui pasal II Aturan Peralihannya dan pasal-pasal peralihan sebelumnya, tetap digunakan HIR (RID) dan RBg sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara.

Sumber Hukum Acara Perdata
_ Sumber hukum yang lain selain yang telah disebutkan di atas ialah :
1.    Undang-undang Darurat no. 1 tahun 1951 tentang kesatuan susunan kekuasaan Acara Pengadilan Sipil yang menunjuk RID sebagai pedoman.
2.    Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman jo. Undang-undang no. 35 tahun 1999.
3.    Undang-undang no. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. UU No. 4 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 2004.
4.    Undang-undang no. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
5.    Selain undang-undang, yurisprudensi dan doktrin juga dapat merupakan sumber hukum acara perdata.
_ Peradilan agama juga merupakan peradilan perkara perdata khusus perceraian, tetapi hanya mengadili orang-orang yang beragama Islam saja, dan perkara-perkaranya mengenai agama Islam bukan diperuntukkan agama lain.Untuk Agama lain adalah kompetensi Pengadilan Negeri

Asas-asas dalam Hukum Acara Perdata
1. Yang berhubungan dengan peranan :
     Prakarsa proses dilakukan oleh para pihak yang bersengketa.
     Hakim bersifat menunggu artinya inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan.
     Hakim wajib mengusahakan perdamaian.
     Perkara yang sudah berjalan dapat sewaktu-waktu ditarik atas persetujuan kedua belah pihak yang bersengketa.
     Acara pemeriksaan dalam sidang pengadilan mengutamakan tulisan-tulisan.
     Putusan hakim wajib dilandasi dengan alasan-alasan yang rasional obyektif. Alasan tersebut sebagai pertanggungjawaban Hakim atas putusannya terhadap masyarakat.
     Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung.
     Yurisprudensi dan doktrin seringkali dijadikan landasan oleh hakim untuk memperkuat putusan yang telah ditetapkannya.
2. Yang berhubungan dengan keadaan peradilan
Ø   Sidang-sidang Pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum, artinya setiap orang diizinkan menghadiri pemeriksaan di persidangan. Tujuannya adalah memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan dan menjamin obyektifitas peradilan.
Ø  Asas terbuka ini dapat disimpangi dalam perkara susila dan ketertiban umum, tetapi putusan harus dibacakan dalam siding terbuka untuk umum. Kedua belah pihak yang berperkara didengar pendapatnya dan diakui sebagai subyek hukum yang kedudukannya sederajat.
Ø  Peradilan dilaksanakan bertahap :
Ø  Tingkat pertama pada Pengadilan Negeri.
Ø  Tingkat banding pada Pengadilan Tinggi. Bagi mereka yang tidak puas dengan putusan yang dijatuhkan dapat mengajukan untuk mengulang kembali perkara mereka ke Pengadilan Tinggi.
Ø  Tingkat Kasasi
Ø  Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung tidak mengulang lagi perkara yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Tinggi atau pada tingkat banding, akan tetapi yang diteliti disini ialah apakah putusan Hakim terdahulu telah melanggar atau melakukan penyimpangan atas undang-undang.
Ø  Sidang-sidang pengadilan pada umumnya diselenggarakan oleh suatu
Ø  Majelis Hakim.

Norma-norma dalam Hukum Acara Perdata
1. Subyek hukum dalam Hukum Acara Perdata :
·         Para pihak yang bersengketa yaitu :
·         Penggugat, pihak yang mengajukan gugatan ke Pengadilan.
·         Tergugat, pihak yang digugat dalam perkara perdata.
·         Hakim yang mengadili.
·         Panitera yang mencatat jalannya siding Pengadilan.
·         Penasehat hukum/Pengacara.
·         Juru sita.
2. Kompetensi/kewenangan mengadili ada 2 (dua) macam :
_ Absolute Competentie/Kompetensi Mutlak.Kewenangan mutlak ini menjawab pertanyaan badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa ini? Jadi kompetensi mutlak ini menyangkut pembagian kekuasaan antara badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan. Misalnya ,pemberian kekuasaan  mengadili kepada Pengadilan Negeri dan tidak kepada macam pengadilan lain.
_ Relatieve Competentie/Kompetensi Relatif.
Kompetensi relatif ini adalah kewenangan untuk mengadili diantara badan peradilan yang sejenis. Misalnya pembagian kekuasaan mengadili diantara berbagai wilayah Pengadilan Negeri.

3. Perkara perdata yang diajukan ke pengadilan dapat berupa :
A. Perkara gugatan (jurisdictio contentiosa).
Di Sini terdapat sanggah-menyanggah, jadi berhubungan dengan perselisihan. Jenis putusannya ialah Keputusan/vonnis.
B. Perkara Permohonan (jurisdictio voluntaria).
Di sini Hakim tidak melakukan peradilan, ia tidak membuat putusan melainkan beschikking,menetapkan secara resmi apa yang sudah ada. Misalnya penetapan ahli waris.
4. Sifat isi putusan pengadilan dapat berupa :
     Putusan yang bersifat deklarator yaitu putusan yang menjelaskan sesuatu. Contoh putusan yang berisikan penunjukkan sebagai ahli waris.
     Putusan yang bersifat konstitutif yaitu menciptakan atau menghapus suatu status
     hukum tertentu. Contoh bubarnya perkawinan, istri menjadi janda.
     Putusan yang bersifat kondemnator yaitu putusan yang memberi hukuman. Contoh : menyerahkan barang, membayar biaya perkara.
 5. Untuk berperkara di Pengadilan pada asasnya dikenakan biaya yang meliputi :
ü  Biaya pemanggilan para pihak.
ü  Biaya pemberitahuan kepada para pihak
ü  Biaya materai.
ü  Biaya Pengacara (bila memakai Pengacara merupakan biaya di luar biaya berperkara di Pengadilan).


Pertemuan-3
Dalam hukum acara Perdata :
-      Bagaimana cara mengajukan gugatan terhadap orang lain
-      Bagaimana masing-masing pihak mempertahankan pendiriannya, tentang alat-alat bukti yang dapat digunakan
-      Bagaimana Hakim memeriksa perkara tersebut dan bagaimana cara melaksanakan keputusan Hakim.
Kalau dipandang dari kepentingan orang yang digugat, maka hukum acara perdata menunjukkan cara bagaimana membantah gugatan dimuka sidang pengadilan untuk menghindarkan keputusan Pengadilan yang merugikan atau keputusan Pengadilan yang dikehendaki oleh pihak penggugat.

Hukum acara Perdata di Indonesia menganut azas – azas :
1.    Gugatan diajukan dengan surat permohonan dengan dimungkinkan mengajukan secara lisan.
2.    Tidak ada kewajiban untuk memberi kuasa kepada seorang ahli untuk mewakilinya.
3.    Hakim diwajibkan berusaha lebih dahulu untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara sebelum mulai memeriksa perkaranya.

Pihak – pihak yang berperkara.
Pada tiap-tiap perkara perdata selalu ada sekurang-kurangnya dua pihak yang saling berhadapan. Pihak yang merasa dirugikan dan mengajukan gugatan disebut PENGGUGAT, sedangkan lawannya yang digugat disebut TERGUGAT.
Di seluruh Indonesia sekarang ini ada 272 Pengadilan negeri yang masing–masing berkedudukan di Ibukota Kabupaten atau di Ibukotamadya dan mempunyai daerah hukum seluas daerah Kabupaten dan Kotamadya tersebut. Hanya beberapa yang berkedudukan di Kecamatan.
Pengadilan Negeri adalah pengadilan tingkat pertama untuk perkara-perkara Perdata maupun Pidana. Jika orang melakukan suatu gugatan , maka ia harus memperhatikan pengadilan negeri yang mana dari sekian banyak pengadilan negeri yang berwenang memeriksanya.
Pada azasnya yang berwenang adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat. Tempat tinggal adalah dimana seseorang tercatat sebagai penduduk,  Kediaman adalah dimana seseorang berdiam.


Menyusun Surat Gugatan
1.    Surat gugatan harus ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya dan dibuat dalam beberapa rangkap.
-      Yang aslinya untuk Pengadilan Negeri, salinannya untuk penggugat sendiri dan untuk masing-masing tergugat satu.
-      Yang dimaksudkan dengan wakilnya adalah orang yang diberi kuasa khusus untuk membuat dan menandatangani surat gugatan dan selanjutnya untuk bertindak untuk dan atas nama yang memberi kuasa disidang Pengadilan Negeri.
2.    Surat gugatan diberi tanggal, menyebut dengan jelas nama penggugat, nama tergugat dan tempat tinggal mereka.
3.    Surat gugatan dapat ditulis dengan tangan, tapi sebaiknya diketik supaya rapi dan mudah dibuatkan salinannya.
Apabila penggugat tidak dapat menulis, maka gugatan dapat diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri akan mencatat atau menyuruh mencatat maksud dan isi gugatan yang disampaikan secara lisan itu. Kemudian oleh Ketua Pengadilan tersebut dibuatkan surat gugatannya.
Dengan makin bekurangnya penduduk yang buta huruf dan makin banyaknya orang yang mempercayakan perkaranya kepada seorang wakil (kuasa) maka gugatan secara lisan sekarang jarang diajukan. Ketua Pengadilan Negeri berwenang memberi nasehat pada setiap penggugat tentang cara mengajukan gugatan. Dengan adanya ketentuan ini dapat dicegah diajukannya surat gugatan yang kurang jelas atau kurang lengkap.
4.    Surat gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dengan membayar uang muka biaya-biaya perkara. Jumlahnya tergantung dari pada sifat dan macamnyaperkara dan jauh dekatnya tempat tinggalpara pihak yang berperkara (biaya panggilan). Untuk penerimaan uang muka ini kepada penggugat atau kuasanya diberikan kwitansi tanda terima.

YANG HARUS DIMUAT DALAM SURAT GUGATAN
Tidak ada ketentuan yang tegas-tegas menentukan apa yang harus dimuat dalam suatu surat gugatan.
Pada pokoknya suatu gugatan memuat:
1.    Identifikasi atau ciri-ciri penggugat dan tegugat, yaitu nama dan tempat tinggalnya, pekerjaan dan lain-lainnya, sehingga jelas siapa penggugat dan siapa yang dimaksud dengan tergugat.
2.    Dasar gugatan (fundamentum petende) yang menjelaskanadanya hubungan hukum antara kedua belah pihak yang menjdai dasar gugatan yang jika diuraikan memuat:
a)    Bagian yang menguraikan tentang peistiwa atau kejadian-kejadiannya; ini merupakan penjelasan tentang duduk perkaranya.
b)    Bagian yang menguraikan tentang hukumnya. Ini menjelaskan tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan (gugatan); tidak perlu menyebutkan pasal-pasal dari peraturan hukum yang menjadi dasar tuntutan (gugatan).
3      Tuntutan (pentitum)
a. Tuntutan penggugat yang dimohonkan agar diputus dan dikabulkan oleh hakim.
b. Menyerahkan keputusan kepada hakim yang dianggap adil
Hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan dan dilarang untuk memutuskan lebih dari apa yang dituntut. Jadi kalau penggugat menuntut 3 (tiga) hal, maka Hakim harus mengadili ketiga hal tersebut dikabulkan ataupun tidak; misalnya kalau penggugat dalam perkara hutang piutang uang tidak menuntut bunga pinjaman, maka Hakim tidak dapat memberi bunga pinjaman.
Untuk menjamin haknya, penggugat dalam surat gugatannya dapat minta agar dilakukan penyitaan atas barang-barang milik tergugat, karena ada kekhawatiran bahwa selama sidang masih bejalan tergugat akan menjual atau mengalihkan harta kekayaan tersebut kepada orang lain sehingga apabila kemudian gugatan penggugat dikabulkan oleh Pengadilan, putusan Pengadilan tersebut ttidak dapat dilaksanakan, disebabkan tergugat tidak mempunyai harta kekayaan lagi, atau barang yang menjadi sengketa sudah di tangan tergugat lagi.
Penyitaan ini merupakan tindakan pesiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan pengadialan. Barang-barang yang disita untuk kepentingan penggugat dibekukan yang berarti barang-barang yang disita untuk kepentingan penggugat dibekukan yang berarti barng-barang itu disimpan (dicoserveer) untuk jaminan dan tidak boleh dijual atau dialihkan oleh tergugat atau siapa saja pada orang lain. Oleh karena itu penyitaan ini disebut sita jaminan (conservatirbeslag).
Dengan telah dilakukannya sita jaminan ini maka hak tergugat atas barang yang disita dibatasi sedemikian rupa sehingga ia tidak dibenarkan untuk menjual atau mengalihkan kepada orang lain dengan alasan apapun juga. Apabila tergugat menjual atau mengalihkan barang-barang tersebut, maka perbuatan itu adalah tidak sah dan dapat dihukum (merupakan perbuatan pidana).
Penyita dilakukan oleh Panitera Pengadilan Negeri dibantu oleh 2 (dua) orang saksi yang ikut menandatangani berita acara penyitaan yang memuat tentang barang-barang mana yang disita oleh mereka dan isinya (bunyinya) telah diberitahukan pada tergugat jika ia pada waktu itu hadir. Sita jaminan tidak meliputi seluruh harta kekayaan dari tergugat, tapi hanya sebagian dari harta kekayaan yang diperkirakan cukup untuk menjamin gugatan penggugat.
Dalam tiap-tiap perkara, ada kemungkinan tergugat mengajukan gugatan balik. Ia balik menggugat penggugat sebagai tergugatnya. Gugatan balik harus diajukan bersama-sama dengan jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan.
Kedua perkara, yaitu perkara pokok (conventie) dan gugatan balik (reconventie) diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam suatu putusan, kecuali kalau Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa perkara yang satu dapat diselesaikan lebih dahulu daripada yang lain

Tata Cara Pengajuan Gugatan :
1.    Apabila tempat tinggal tergugat diketahui, maka gugatan diajukan pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tinggal tergugat
2.    Apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tergugat berdiam.
3.    Apabila tergugatnya lebih dari seorang yang masing–masing bertempat tinggal didaerah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, maka penggugat dapat memilih Pengadilan Negeri tempat salah seorang tergugat.
4.    Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, maka gugatan dilanjutkan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat.
5.    Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal dan gugatan mengenai barang tetap (misalnya tanah) maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri dimana barang tetap itu terletak.
6.    Apabila dalam surat perjanjian disebutkan tempat tinggal yang dipilih (pemilihan domisili) maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang dipilih dalam persetujuan.
7.    Apabila tergugat bertempat tinggal diluar negeri, gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat, dan Ketua Pengadilan Negeri menyampaikan panggilan kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia di Negara tempat tinggal tergugat dengan bantuan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
-      Gugatan terhadap suatu hukum diajukan ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan dari badan hukum yang disebutkan dalam anggaran dasarnya.
-      Gugatan terhadap Negara atau suatu daerah otonom diajukan ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi Ibukota Negara atau Ibukota daerah otonom tersebut.
-      Apabila gugatan ditujukan terhadap anak-anak yang masih dibawah umur atau orang-orang dibawah pengampuan, maka surat gugatan disampaikan ke Pengadilan Negeri ditempat tinggal orang tuanya, walinya atau pengampuannya.
-      Kalau menurut pendapat tergugat Pengadilan Negeri yang akan memeriksa tidak berwewenang untuk memeriksa perkaranya tersebut, maka tergugat dapat mengajukan keberatannya pada sidang pertama.
-      Kalau keberatan itu baru kemudian diajukan setelah ia menjawab isi gugatan, maka keberatan itu tidak akan diperhatikan oleh Hakim.
CARA MENGAJUKAN GUGATAN
Telah disebutkan diatas, apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan jalan yang dapat ditempuh oleh pihak yang merasa dirugikan ialah menggugat pihak yang dianggap merugikannya di Pengadilan Negeri.
-      Caranya ialah mengajukan permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat.
-      Surat permohonan ini lazimnya disebut surat gugat atau surat gugatan,maksudnya ialah mohon kepada Pengadilan Negeri agar memanggil pihak-pihak yang bersengketa mengadap dipersidangan Pengadilan Negeri untuk diperiksa perkara mereka yang disebutkan dalam surat gugatan











Pertemuan ke-4
PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN
1.        Klien datang ke advokat untuk mengemukakan permasalahan, yang dialaminya
2.        Advokat memberikan keterangan dan arahan berkenaan dengan perkara yang dihadapi oleh klien, tentang peristiwa hukumnya serta posisi hukum dari kasus tersebut.
3.        Advokat mengemukakan langkah dan strategi yang akan diambil, serta menjelaskan berbagai kemungkinan yang muncul dari langkah-langkah tersebut
4.        Langkah 1 –3 bisa tidak dilakukan bila anda tidak menggunakan jasa advokat
5.        Saran pertama adalah melakukan upaya perdamaian yang ditempuh melalui negosiasi
6.        Apabila negosiasi berhadil, maka hasil negosiasi tersebut dituangkan dalam sebuah akta atau dokumen perjanjian
7.        Apabila upaya negosiasi buntu maka dapat ditempuh upaya hukum formal yaitu mengajukan gugatan ke pengadilan negeri di wilayah hukum tergugat. Kalau tergugatnya lebih dari satumaka dapat dipilih di wilayah hukum salah seorang tergugat saja.
8.        Penggugat membuat surat gugatan yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang isi gugatannya terdiri atas identitas para pihak, uraian peristiwa dan uraian hukum serta tuntutan yang diajukan dan didaftarkan di panitera perdata pengadilan negeri setempat
9.        Apabila telah didaftar dan mendapatkan nomor perkara di pengadilan negeri yang dimaksud, ketua pengadilan memerintahkan kepada panitera untuk memanggil para pihak secara patut dan layak
10.      Apabila para pihak/salah satu yang telah dipanggil secara patut dan layak itu tidak hadir di persidangan, maka hakim memerintahkan kepada panitera untuk melakukan pemanggilan ulang
11.      Apabila telah dilakukan pemanggilan secara layak tetapi salah satu pihak tidak hadir maka hakim dapat memerintahkan untuk melakukan pemanggilan ulang kembali. Setalah dilakukan pemanggilan ulang, masih juga salah satu pihak tidak hadir maka Hakim dapat langsung memutus perkara dengan putusan verstek (bila tergugat yang tidak hadir) atau gugatan dinyatakan gugur (bila penggugat yang tidak hadir)
12.      Apabila dalam persidangan pertama dihadiri oleh para pihak, maka sidang dilanjutkan, hakim membuka sidang dan kemudian mewajibkan para pihak mengikuti proses mediasi, apabila berhadil maka dibuat akta perdamaian
13.      Apabila proses mediasi gagal, sidang dilanjutkan dengan acara pertama mendengarkan gugatan penggugat
14.      Tergugat menyampaikan eksepsi atau sangggahan terhadap gugatan yang diajukan oleh penggugat, materi eksepsi ini adalah menyangkut hal di luar pokok perkara, biasanya tentang kewenangan pengadilan dalam memeriksa perkara atau menyangkut gugatan yang prematur dan atau kabur serta kurang pihak
15.      Majelis Hakim dapat menyampaikan putusan sela atau putusan sela dapat juga dilakukan diakhir bersama putusan akhir
16.      Penggugat mengajukan replik
17.      Tergugat mengajukan duplik
18.      Penggugat dapat mengajukan rereplik
19.      Tergugat dapat mengajukan reduplik
20.      Proses berikutnya adalah pembuktian, penggugat diberikan kesempatan untuk menyampaikan terlebih dahulu dengan menyerahkan daftar alat bukti tertulis
21.      Setelah penggugat selesai, tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan pembuktian
22.      Penggugat apabila akan mengajukan saksi maka diberi kesempatan untuk mengajukan saksi terlebih dahulu
23.      Setelah penggugat, tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan saksi
24.      Kedua pihak diberikan kesempatan mengajukan kesimpulan
25.      Setelah kedua pihak mengajukan kesempulan, Majelis Hakim memutuskan perkara
26.      Apabila tidak puas dengan keputusan hakim, maka diberikan kesempatan bagi kedua belah pihak mengajukan banding dalam waktu 14 hari sejak putusan dijatuhkan

PEMBERIAN KUASA
Sifat Pemberian Kuasa
1792.   Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.
1793.  Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan.
Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.
1794. Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya.
Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali.
1795. Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa.
1796.  Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan- tindakan yang menyangkut pengurusan.
Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.
1797. Penerima kuasa tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk menggantungkan penyelesaian perkara pada keputusan wasit.
1798. Orang-orang perempuan dan anak yang belum dewasa dapat ditunjuk kuasa tetapi pemberi kuasa tidaklah berwenang untuk mengajukan suatu tuntutan hukum terhadap anak yang belum dewasa, selain menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan-perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan bersuami yang menerima kuasa tanpa bantuan suami pun ia tak berwenang untuk mengadakan tuntutan hukum selain menurut ketentuan-ketentuan Bab 5 dan 7 Buku Kesatu dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini.
1799. Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang yang dengannya penerima kuasa telah melakukan perbuatan hukum dalam kedudukannya dan pula dapat mengajukan tuntutan kepadanya untuk memenuhi persetujuan yang telah dibuat.

Kewajiban Penerima Kuasa

1800. Penerima kuasa, selama kuasanya belum dicabut, wajib melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa itu.
Begitu pula ia wajib menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikannya.
1801.Penerima kuasa tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja melainkan juga atas kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya.
Akan tetapi tanggung jawab atas kelalaian-kelalaian orang yang dengan cuma-cuma menerima kuasa, tidaklah seberat tanggung jawab yang diminta dari orang yang menerima kuasa dengan mendapatkan upah.
1802. Penerima kuasa wajib memberi laporan kepada kuasa tentang apa yang telah dilakukan serta memberikan perhitungan tentang segala sesuatu yang diterimanya berdasarkan kuasanya, sekalipun apa yang diterima itu tidak harus dibayar kepada pemberi kuasa.
1803. Penerima kuasa bertanggungjawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya:
*      bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya
*      bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu sedangkan orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atan tidak mampu.
Pemberi kuasa senantiasa dianggap telah memberi kuasa kepada penerima kuasanya untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya untuk mengurus barang-barang yang berada di luar wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat tinggal pemberi kuasa.
Pemberi kuasa dalam segala hal, dapat secara langsung mengajukan tuntutan kepada orang yang telah ditunjuk oleh penerima kuasa sebagai penggantinya.
1804. Bila dalam satu akta diangkat beberapa penerima kuasa untuk suatu urusan, maka terhadap mereka tidak terjadi suatu perikatan tanggung-menanggung kecuali jika hal itu ditentukan dengan tegas dalam akta.
1805. Penerima kuasa harus membayar bunga atau uang pokok yang dipakainya untuk keperluannya sendiri terhitung dari saat ia mulai memakai uang itu, begitu pula bunga atas uang yang harus diserahkannya pada penutupan perhitungan terhitung dari saat ia dinyatakan lalai melakukan kuasa.
1806. Penerima kuasa yang telah memberitahukan secara sah hal kuasanya kepada orang yang dengannya ia mengadakan suatu persetujuan dalam kedudukan sebagai penerima kuasa, tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi diluar batas kuasa itu, kecuali jika ia secara pribadi mengikatkan diri untuk itu.

Kewajiban-kewajiban Pemberi Kuasa
1807. Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah ia berikan kepadanya.
Ia tidak terikat pada apa yang telah dilakukan di luar kekuasaan itu kecuali jika ia telah menyetujui hal itu secara tegas atau diam-diam.
1808. Pemberi kuasa wajib mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya, begitu pula membayar upahnya bila tentang hal ini telah diadakan perjanjian.
Jika penerima kuasa tidak melakukan suatu kelalaian, maka pemberi kuasa tidak dapat menghindarkan diri dari kewajiban mengembalikan persekot dan biaya serta membayar upah tersebut di atas, sekalipun penerima kuasa tidak berhasil dalam urusannya itu.
1809. Begitu pula pemberi kuasa harus memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian-kerugian yang dideritanya sewaktu menjalankan kuasanya asal dalam hal itu penerima kuasa tidak bertindak kurang hati-hati.
1810. Pemberi kuasa harus membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa, terhitung mulai hari dikeluarkannya persekot itu.
1811. Jika seorang penerima kuasa diangkat oleh berbagai orang untuk menyelenggarakan suatu urusan yang harus mereka selesaikan secara bersama, maka masing-masing dari mereka bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat dari pemberian kuasa itu.
1812. Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa.

Bermacam-macam Cara Berakhirnya Pemberian Kuasa

1813. Pemberian kuasa berakhir :
*      dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa;
*      dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa;
*      dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa;
*      dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.
1814. Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya dan dapat memaksa pemegang kuasa untuk mengembalikan kuasa itu bila ada alasan untuk itu.
1815. Penarikan kuasa yang hanya diberitahukan kepada penerima kuasa tidak dapat diajukan kepada pihak ketiga yang telah mengadakan persetujuan dengan pihak penerima kuasa karena tidak mengetahui penarikan kuasa itu, hal ini tidak mengurangi tuntutan hukum dari pemberi kuasa terhadap penerima kuasa.
1816. Pengangkatan seorang penerima kuasa baru untuk menjalankan suatu urusan yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa penerima kuasa yang pertama, terhitung mulai hari diberitahukannya pengangkatan itu kepada orang yang disebut belakangan.
1817. Pemegang kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan memberitahukan penghentian kepada pemberi kuasa.
Akan tetapi bila pemberitahuan penghentian ini, baik karena ia tidak mengindahkan waktu maupun karena sesuatu hal lain akibat kesalahan pemegang kuasa sendiri, membawa kerugian bagi pemberi kuasa, maka pemberi kuasa ini harus diberikan ganti rugi oleh pemegang kuasa itu kecuali bila pemegang kuasa itu tak mampu untuk meneruskan kuasanya tanpa mendatangkan kerugian yang berarti bagi dirinya sendiri.
1818. Jika pemegang kuasa tidak tahu tentang meninggalnya pemberi kuasa atau tentang suatu sebab lain yang menyebabkan berakhirnya kuasa itu, maka perbuatan yang dilakukan dalam keadaan tidak tahu itu adalah sah.
Dalam hal demikian, segala perikatan yang dilakukan oleh penerima kuasa dengan pihak ketiga yang beritikad baik, harus dipenuhi terhadapnya.
1819. Bila pemegang kuasa meninggal dunia, maka para ahli warisnya harus memberitahukan hal itu kepada pemberi kuasa jika mereka tahu pemberian kuasa itu, dan sementara itu mengambil tindakan-tindakan yang perlu menurut keadaan bagi kepentingan pemberi kuasa, dengan ancaman mengganti biaya, kerugian dan bunga, jika ada alasan untuk itu.
Penetapan hari sidang dan Pemanggilan para pihak
  1. Majelis hakim menentukan hari sidang
  2. Pemanggilan para pihak :
         Tenggang waktu antara pemanggilan dengan hari sidang  tidak boleh kurang dari 3 hari
         Tata cara melakukan pemanggilan :
  1. Dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti
  2. Pemangilan dengan surat panggilan dan salinan surat gugatan
  3. Bertemu langsung dengan orang yang dipanggil di tempat tinggal/kediamanan
  4. Jika tidak ketemu disampaikan kepada kepala desa/lurah
  5. Jika ada pihak yang tidak diketahui tempat tinggal dan kediamannya dlakukan pemangilan melalui bupati/walikota di wilayah hukum penggugat
  6. Jika sitergugat meninggal dunia ke ahli warisnya, jika tidak diketahui maka diserahkan kepada kepala desa/lurah
  7. Jika para pihak bertempat tinggal di luar wilayah hukum pengadilan negeri yang memeriksa perkara relas dikirim ke pengadilan negeri di mana pihak itu bertempat tinggal
  8. Jika berada di luar wilayah Indonesia dikirim ke kedutaan besar Indonesia

Persidangan pertama
1.  Penggugat tidak hadir, tergugat hadir.
Pasal 126 HIR/150 RBg: majelis dapat memanggil sekali pihak yang tidak hadir agar hadir pada sidang berikutnya. èAkibatnya : gugatan dinyatakan gugur
2.    Penggugat hadir, tergugat tidak hadir.
Berlaku Pasal 126 HIR/150 RBG èAkibatnya : verstek

TUGAS  INDIVIDU (dikumpulkan hari ini)
  1. Sebutkan azas-azas dalam hukum acara perdata (yang berhubungan dengan peranan dan keadaan peradilan)
  2. Sebutkan Norma-norma dalam hukum acara perdata
  3. Cara mengajukan gugatan (disimpulkan secara singkat dan padat)






See you tommorow ….

Pertemuan ke-5
     




Pertemuan ke-5
Penetapan Hari Sidang
            Wewenang untuk menetapkan hari sidang ada pada ketuaè ketua dalam prkatek ditafsirkan sebagai Ketua Pengadilan.
R. Subekti menyarankan dalam UU yang baru nanti hendaknya tegas-tegas disebut siapa yang dimaksud ;  yaitu ketua sidang yang mencakup pengertian “Ketua Majelis” maupun “Ketua Sidang” (apabila yang bersidang adalah hakim tunggal)
            Tenggang waktu antara pemanggilan dan hari sidang adalah tiga hariè UU No.5/86 secara tegas menyatakan, dalam menentukan hari sidang, hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan.
Jangka waktu waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat sebagaimana diatur dalam bagian kedua paragraf 2. (pasal 64(1) dan (2) UU No. 5/86
Pengajuan gugatan
Penetapan hari sidang dan pemanggilan
Persidangan pertama :
      a. gugatan gugur
      b. verstek
      c. perdamaian
Pembacaan gugatan
Jawaban tergugat :
       a. mengakui
       b. membantah
    c. referte
    d. eksepsi :
            -  materil
            -  formil
         Rekonvensi
         Repliek dan dupliek
         Intervensi
         Pembuktian
         Kesimpulan
         Putusan Hakim
Pengajuan gugatan :
  1. Diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang.
  2. Diajukan secara tertulis atau lisan
  3. Bayar preskot biaya perkara
  4. Panitera mendaftarkan dalam buku register perkara dan memberi nomor perkara
  5. Gugatan akan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri.
  6. Ketua pengadilan menetapkan majelis hakim

Penetapan hari sidang dan Pemanggilan para pihak  :
  1. Majelis hakim menentukan hari sidang
  2. Pemanggilan para pihak :
         Tenggang waktu antara pemanggilan dengan hari sidang  tidak boleh kurang dari 3 hari
         Tata cara melakukan pemanggilan :
  1. Dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti
  2. Pemangilan dengan surat panggilan dan salinan surat gugatan
  3. Bertemu langsung dengan orang yang dipanggil di tempat tinggal/kediamanan
  4. Jika tidak ketemu disampaikan kepada kepala desa/lurah
  5. Jika ada pihak yang tidak diketahui tempat tinggal dan kediamannya dlakukan pemangilan melalui bupati/walikota di wilayah hukum penggugat
  6. Jika sitergugat meningal dunia ke ahli warisnya, jika tidak diketahui maka diserahkan kepada kepala desa/lurah
  7. Jika para pihak bertempat tinggal di luar wilayah hukum pengadilan negeri yang memeriksa perkara relas dikirim ke pengadilan negeri di mana pihak itu bertempat tinggal
  8. Jika berada di luar wilayah Indonesia dikirim ke kedutaan besar Indonesia


Verstek
         Pengertian : putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat
         Syarat acara verstek :
  1. Tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut
  - yang melaksanakan pemangilan juru sita
  - surat panggilan
  - jarak waktu pemanggilan dengan hari sidang yaitu 8 hari apabila jaraknya tidak jauh, 14 hari apabila jaraknya agak jauh dan 20 hari apabila jaraknya jauh (Pasal 122 HIR/10Rv)
b. Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah
c. Tergugat tidak mengajukan eksepsi kompetensi
Bentuk Putusan Verstek
  1. Menggabulkan gugatan penggugat, terdiri dari :
      a. mengabulkan seluruh gugatan
      b. mengabulkan sebagian gugatan
         Hal ini terjadi jika gugatn beralasan dan tidak melawan hukum.
    
2. Gugatan tidak dapat diterima, apabila : gugatan melawan hukum atau ketertiban  dan kesusilaan (unlawful)
         Gugatan ini dapat diajukan kembali  tidak berlaku asas nebis in idem
3. Gugatan ditolak apabila gugatan tidak beralasan
         Gugatan ini tidak dapat diajukan kembali
Upaya hukum  dari verstek adalah verzet/perlawanan
Perdamaian
         Jika pihak penggugat dan tergugat hadir
         Dasar hukum Pasal 130 HIR/154 RBg
         Upaya yang pertama kali dilakukan oleh hakim
         Dilakukan selama sebelum hakim menjatuhkan putusan
         Dapat menyelesaikan perkara
         Tujuannya :
  1. Mencegahnya timbulnya perselisihan di kemudian hari di antara para pihak.
  2. Menghindari biaya mahal
  3. Menghindari proses perkara dalam jangka waktu lama.
         Perdamaian dituangkan dalam akta perdamaian (acte van vergelijk) di mana mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim.
         Tidak dapat dibanding è kesepakatan para pihak/menurut kehendak para pihak.
Jawaban Tergugat
         Setelah gugatan dibacakan oleh penggugat
         Bentuknya ada beberapa :
  1. Mengakui èmenyelesaikan perkara dan tidak ada pembuktian.
  2. Membantah èharus dengan alasan.
  3. Referte ètidak mengakui dan tidak membantah.
  4. Eksepsi/tangkisan



















Pertemuan ke-6

ASAS PENGECUALIAN ACTOR SEQUITOR FORUM REI
Seperti kita ketahui bahwa gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri tergugat bertempat tinggal (actor sequitor forum rei) (pasal 118 ayat 1 HIR).
Namun asas ini (actor sequitor forum rei) ada pengecualiannya yaitu:
v  Bila tempat tinggal tergugat tidak diketahui maka bisa di PN tempat kediaman penggugat.
v  Bila tergugat 2 atau lebih, penggugat bisa memilih salah satunya tergantung keuntungan yang bisa diperoleh oleh penggugat.
v   Bila mengenai barang tetap, dapat diajukan ke PN barang tetap itu terletak.
v   Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan dapat diajukan kepada PN di tempat tinggal yang dipilih dengan akta tsb.
v   Bila tidak cakap, maka diajukan ke ketua PN tempat tinggal orang tuanya, walinya atau pengampunya. (psl 21 BW)
v  Tentang penjaminan (vrijwaring) yang berwenang mengadili adalah PN yang pertama dimana pemeriksaan dilakukan (psl 99 ay (14) RV).
v   Permohonan pembatalan perkawinan ke PN tempat tinggal suami istri (psl 25 jo. Psl 63 ay (1)b UU 1/1974).
v  Gugatan perceraian dapat diajukan kepada PN kediaman penggugat. Bila tergugat di luar negeri, gugatan ditempat kediaman penggugat dan ketua PN menyampaikan permohonan kepada tergugat melalui perwakilan RI setempat. (psl 40 jis psl 63 (1)b UU 1/1974 psl 20(2) dan (3) PP 9/1975).

MACAM-MACAM EKSEPSI
Macam-macam Eksepsi/tangkisan dalam Hukum Acara yaitu :
v   Eksepsi mengenai kekuasaan relatif, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang mengadili perkara. Diajukan sebelum tergugat menjawab pokok perkara.
v  Eksepsi mengenai kekuasaan absolut, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang untuk mengadili perkara tsb (psl 143 HIR), eksepsi mengenai kekuasaan absolut dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung, bahkan hakim wajib karena jabatannya (tanpa harus diminta oleh tergugat)
v   Eksepsi Deklinatoir (mengelakkan), hakim tidak berwenang (psl 133, 134) jika benar maka gugatan penggugat diputus tidak dapat diterima. Dalam hal ini penggugat dapat mengajukan gugatan baru pada pengadilan yang berwenang.
v   Eksepsi Dilatoir (menangguhkan, menunda): contoh, tergugat menyatakan bahwa gugatan diajukan prematur, belum saatnya. Kalau gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, penggugat dapat menggugat kembali setelah tiba saatnya.
v  Eksepsi Peremptoir (menyudahi, menyelesaikan): Contoh daluwarsa, kalau oleh hakim gugatan tersebut ditolak, maka penggugat tidak dapat mengajukan gugatan lagi.
v  Eksepsi Diskualifikatoir: yaitu penggugat dianggap tidak mempunyai kedudukan yang dimaksud dalam gugatan.
v  Eksepsi ne bis in idem: eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang sekarang seluruhnya sama dengan perkara yang terdahulu diputus yaitu baik objeknya, persoalannya maupun pihak-pihaknya sama (nebis in idem).

Rekonvensi
         Dasar hukum Pasal 132a dan Pasal 132b HIR disisip dgn Stb 1927-300, Pasal 157-158 RBg.
         Pengertian : gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat karena dianggap juga melakukan wanprestasi kepada tergugat.
         Dapat berupa jawaban tergugat tapi dapt juga dilakukan dalam dupliek.
         Batas waktunya sebelum proses pembuktian.
         Rekonvensi dapat diajukan baik yang ada koneksitas maupun tidak.
        Jika ada koneksitas dapat diperiksa sekaligus/bersama-sama.
        Jika tidak ada koneksitas dapat diperiksa satu-satu/dipisah.
·         Rekonvensi tidak dapat diajukan dalam hal :
1.    Jika kedudukkan penggugat tidak dalam kualitas yang sama antara gugatan konvensi dengan rekonvensi.
2.    Rekonvensi tidak dalam kompentensi yang sama.
3.    Rekonvensi tentang pelaksanaan putusan hakim
Intervensi
         Dasar hukum Pasal 279-282 BRv
         Pengertian :masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung bila dia juga mempunyai kepentingan (interest).
         Bentuknya :
  1. Voeging (menyertai) èdengan cara menggabungkan diri kepada salah satu pihak.
  2. Tussenkomst (menengahi) èberdiri sendiri (tidak memihak salah satu pihak.
  3. Vrijwaring (penanggungan) : è- mirip tapi tidak sama dengan intervensi karena insiatifnya tidak dari pihak ketiga yang bersangkutan.
      - ikutsertanya karena diminta sebagai penjamin/pembebas oleh salah satu pihak yang berperkara.
  1. Exceptio Plurium Litis Consortium:
           - masuknya pihak ketiga karena ditarik oleh salah satu pihak yang berperkara.
           - dilakukan karena pihak tersebut tidak lengkap.
           - contoh dalam perkara warisan.

Repliek dan Dupliek
         Repliek : jawaban penggugat atas jawaban tergugat.
         Dupliek : jawaban tergugat terhadap repliek penggugat












Pertemuan ke-7

REPLIEK DAN DUPLIEK
Setelah tergugat mengajukan jawaban, maka tahapan pemeriksaan perkara di pengadilan selanjutnya adalah replik, yaitu jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik ini juga dapat diajukan  secara tertulis maupun secara lisan. Replik diajukan oleh penggugat untuk meneguhkan gugatannya dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya.
Setelah penggugat mengajukan replik, tahapan pemeriksaan selanjutnya adalah duplik yaitu jawaban tergugat terhadap replik yang diajukan penggugat. Sama halnya dengan replik, duplik inipun .diajukan secara tertulis maupun secara lisan. Duplik diajukan tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan penggugat.
Dalam praktek di pengadilan biasanya acara jawab menjawab antara penggugat dan tergugat berjalan secara tertulis. Oleh karena itu untuk mempersiapkan jawab menjawab tersebut diperlukan waktu yang cukup dengan menunda waktu selama satu atau dua minggu untuk tiap tahap pemeriksaan. Apabila acara jawab menjawab antara penggugat dan tergugat sudah selesai, maka tahapan selanjutnya adalah pembuktian. (lihat contoh fotocpoyan kemarin)

Pihak Ketiga dalam Proses Perkara
Sebagaimana umumnya dalam suatu perkara sekurang-kurangnya ada dua pihak yang berperkara.  Namun demikian adakalanya dalam suatu perkara ada pihak lain diluar kedua belah pihak turut serta dalam perkara tersebut sebagai pihak ketiga.
Dasar hukum tentang pengikutsertaan pihak ketiga dalam suatu perkara tidak diatur dalam HIR, melainkan dalam RY. Menurut Pasal 279 RV barang siapa yang mempunyai kepentingan dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan, dapat ikut serta dalam perkara tersebut dengan jalan menyertai (voeging) atau menengahi (tussenkomst).
Dari ketentuan pasal ini dapat dikatakan bahwa intervensi itu adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang berlangsung apabila ia mempunyai kepentingan. Ikut sertanya pihak ketiga itu karena kepentingannya terganggu, sebab jika ia tidak ikut serta dalam perkara itu, kepentingannya akan dirugikan. Jadi inisiatif ikut serta dalam perkara itu harus datang dari pihak ketiga.
Namun demikian ada juga bentuk yang mirip dengan intervensi, tetapi tidak dapat digolongkan kepada intervensi. Bentuk ini adalah penanggungan (vrijwaring). Dikatakan tidak termasuk intervensi karena inisiatif ikut serta dalam perkara itu bukanlah datang dari pihak ketiga, melainkan justru dari salah satu pihak yang berperkara. Turut serta pihak ketiga dalam perkara itu karena terpaksa atas permintaan salah satu pihak, biasanya tergugat untuk ikut menanggung atau mernbebaskan tergugat dari gugatan.

1. Seseorang menempatkan diri di samping salah satu pihak untuk bersama-sama dengan pihak itu menghadapipihak lain (Voeging)
Yang dimaksud dengan seseorang menempatkan diri di samping salah satu pihak, ialah ikut sertanya pihak ketiga menjadi pihak dalam perkara dengan jalan menggabungkan diri dengan salah satu pihak untuk membela kepentingannya.

Sebagai contoh ; Amir Hasan dan Mustari bersama-sama secara tanggung renteng berhutang kepada Mardi sebesar Rp 5.000.000.-(lima juta rupiah) untuk membuka usaha dagang material bahan bangunan. Namun usaha tersebut macet, lalu mereka tidak mampu membayar utangnya, Mula-mula hanya Mustari yang digugat oleh Mardi. Kemudian Amir Hasan mencampuri sebagai pihak ketiga untuk menolong Mustari dalam menghadapi Mardi .

Contoh lain, Syaiful menggugat Ilham untuk pembayaran Surat utang. Nawawi mendengar perihal itu merijadi kaget dan mengatak bahwa hal tersebut bukanlah suatu utang, akan tetapi adalah modal untuk usaha dagang bersama antara Syaiful, Ilham dan Nawawi.Oleh karena itu Nawawi mencampuri gugatan dan memihak atau menggabungkan diri kepada Ilham.

Contoh lain lagi, Anton pemilik sebidang kebun coklat di Bekasi mengadakan perjanjian Jamhar bahwa selama Anton pergi tugas belajar empat tahun ke Inggris kebun coklat tersebut digarap oleh Jamhar secara bagi hasil. Kemudian kebun coklat tersebut digusur oleh Mandala Bakti, perusahaan perumahan real estate karena membuka jalan menuju proyek perumahan itu. Karena Jamhar merasa dirugikan ia menggugat perusahaan tersebut ke Pengadilan Negeri Bekasi. Mendengar berita ini, Anton kembali ke Bekasi dan mengajukan pennohonan kepada Pengadilan Negeri Bekasi supaya dapat ikut serta dalam perkara tersebut dengan alasan membela hak miliknya atas kebun tersebut. Dalam hal ini Anton di samping membela kepentingannya sendiri, juga membela kepentingan Jamhar dan bergabung dengan Jamhar menghadapi tergugat PT Mandala Bakti.

2. Seseorang Menempatkan Diri Ditengah-Tengah Antara Kedua Belah Pihak (Tussenkomst)
Pencampuran pihak ketiga atas kemauan sendiri ikut dalam proses di mana pihak ketiga ini tidak memihak baik kepada Penggugat maupun kepada Tergugat, melainkan ia hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri. Juga dalam hal ini ada gugat insidental dan diperkenankan tidaknya yang bersangkutan mencampuri perkara yang sedang berjalan tersebut harus dipertimbangkan dan kemudian diputus dengan suatu putusan sela oleh hakim.

Contoh, dalam jual beli tanah. Rizal selaku Penggugat menggugat Bonar, oleh karena Bonar telah menjual tanah kepadanya seluas 2000 m akan tetapi tidak mau menyerahkan tanah tersebut. Mendengar tentang adanya gugatan itu, Comelis yang juga merasa telah membeli tanah tersebut.datang ke persidangan mencampuri perkara tersebut sebagai pihak ketiga. Ia sebagai pihak ketiga disebut intervenient.  Apabila intervensi dikabulkan maka perdebatan menjadi perdebatan seg. uga. Dapat juga intervensi itu ditolak dan sehubungan dengan hal itu dijatuhkan putusan sela, dalam hal ini putusan insidental.

Contoh lain, Ali meminjam mobil Toyota Kijang milik Abu selama satu minggu. Karena percaya dengan temannya, mobil tersebut diserahkan. Setelah itu Ali meminjam uang ke Badu sebesar Rp 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) dengan jaminan mobil Toyota Kijang tersebut. Setelah lampau waktu yang diperjanjikan Ali tidak membayar utangnya tersebut. Atas dasar ini Badu menggugat ke pengadilan negeri dengan tuntutan agar Ali membayar utangnya kepada Badu dengan permohonan sita jaminan atas mobil tersebut. Setelah gugatan diperiksa Abu mengetahui perkara ini dan karena mobil tersebut miliknya, maka ia mengajukan permohonan ke pengadilan negeri untuk ikut serta dalam perkara yang sedang diperiksa guna membela hak miliknya atas mobil tersebut dan ia melawan kedua belah pihak.
Contoh lain lagi, Zainuddin memiliki sebuah rumah besar, karena mendapat tugas belajar ke Canada selama tiga tahun, Tamsil disuruh menunggu rumah tersebut. Tetapi Tamsil menjual rumah tersebut kepada Tony. Karena Tony tidak membayar rumah tersebut, lalu Tamsil menggugat Tony untuk memperoleh uang harga rumah. Kemudian Zainuddin mengetahui hal ini, dan melalui kuasa hukumnya turut serta dalam perkara itu membela kepentingannya.

3. Penarikan Pihak Ketiga ke Pengadilan sebagai Penjamin atau Penanggung (Vrijwaring)

Sebagai contoh, apabila Ahmad sesudah menyewa suatu rumah dari Bambang kemudian digugat oleh Kholis untuk keluar dari rumah itu dengan alasan bahwa Kholis merasa, bahwa yang berhak memiliki rumah itu adalah dirinya. Dalam hal ini Ahmad dapat menarik Bambang di muka hakim sebagai pihak ketiga untuk turut membantah gugatan kholis. (lihat Pasal 155 KUHPerdata).

Contoh lain, Agus selaku penggugat telah membeli sebuah televisi dari Bondan selaku tergugat. Temyata televisi itu mempunyai cacat yang tersembunyi. Bondan selaku tergugat pada mulanya tidak mengetahui adanya cacat pada TV tersebut, sebab ia baru 3 bulan yang lalu membeli dari PT Panasonic yang telah memberikan jaminan bahwa TV tersebut baru dan tidak cacat, Oleh karena Bondan digugat oleh Agus untuk membayar ganti rugi karena adanya cacat tersebut, Bondan menarik PT. Panasonic untuk menanggung atau menjamin Bondan.

Contoh lain lagi, Najib memiliki rumah, karena tugas belajar ke Amerika, ia menyuruh Raswadi menunggu dan mengurus rumah tersebul. Tanpa seizin Najib, rumah tersebut oleh Raswadi dikontrakkan kepada Noval untuk jangka waktu 4 tahun. Setelah Najib kembali ke Indonesia karena selesai studinya, dia menggugat Noval agar mengosongkan rumah itu. Di sini Noval meminta kepada Raswadi untuk menanggung atau membebaskan dirinya dari gugatan Najib karena Noval mengira rumah itu adalah milik Raswadi. Menurut hukum Raswadi hams menanggung terhadap Noval. (Pasal 1558 KUHPerdata).

TUGAS  :
1.      Bentuklah ke dalam 8 kelompok (4 kelompok tergugat dan 4 kelompok penggugat)
2.      Kasusnya adalah salah satu contoh kasus yang diatas
3.      Tugas ke-empat kelompok penggugat adalah membuat surat gugatan (surat tersebut ditujukan ke pengadilan )
4.      Tugas ke-empat kelompok tergugat adalah membuat surat jawaban atas gugatan ke-4 kelompok yang lainnya (kelompok 1 menjawab gugatan kelompok 2, kel 3 <> kel 4, kel 5 <> kel 6, kel 7 <> kel 8)

CONTOH

Surat Kuasa Gugatan Utang Piutang



SURAT –KUASA


Yang bertanda tangan dibawah ini, saya: Marulloh, bertempat tinggal di Jalan Raya
Jatiwaringin No. 125 Bekasi;

Dengan ini menerangkan memberikan kuasa kepada:
Zulfan, SH, Penasihat Hukum, berkantor di Jalan Juanda No. I Bekasi.

_____.....;... K h u s u s----------
Untuk dan atas nama pemberi kuasa mewakili sebagai Penggugat, mengajukan gugatan terhadap Asrori, di Pengadilan Negeri Bekasi menganai utang piutang;-Untuk itu yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap dan menghadiri semua persidangan Pengadilan Negeri di Bekasi, menghadap instansi-instansi, jawatan
c
jawatan, hakim, pejabat-pejabat, pembesar-pembesar, menerima, mengajukan kesimpulan-kesimpulan, meminta sitaan (sita jaminan), mengajukan atau menolak saksi-saksi, menerima atau menolak keterangan saksi-saksi, meminta atau memberikan segal a keterangan yang diperlukan, dapat mengadakan perdamaian dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh yang diberi kuasa, menerima uang pembayaran dan memberikan kuitansi tanda penerimaan uang, meminta penetapanpenetapan, putusan, pelaksanaan putusan (eksekusi), melakukan peneguranpeneguran, dapat mengambil segala tindakan yang penting, perlu dan berguna sehubungan dengan menjalankan perkara, serta dapat mengerjakan segala sesuatu pekerjaan yang umumnya dapat dikerjakan oleh seorang kuasa/wakil guna kepentingan tersebut diatas, juga untuk mengajukan permohonan banding atau
kasasi.
Kekuasaan ini diberikan dengan upah (honorarium) dan hak retensi (hak menahan barang milik orang lain) serta dengan hak untuk melimpahkan (substitusi) baik sebagian maupun seluruhnya yang dikuasakan ini kepada orang lain.

Bekasi, 26 Agustus 2002
Penerima Kuasa                                                                                                                                                      Pemberi Kuasa
Meterai Rp 6000


Zulfan, S.H.                                                                                                                   Marulloh

































































































Pertemuan ke-8

Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti
Dalam Hukum Acara Perdata
A. Teori Pembuktian
  1. Pendahuluan
Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum acara perdata.
Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil.
Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.
Hukum positif tentang pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang berlaku saat ini di RI terserak dalam HIR dan Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku IV yang isinya hanya hukum pembuktian materiil.
  1. Pengertian Pembuktian/membuktikan
“Membuktikan” menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian:
a) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
b) Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
c) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.
Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.
Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perk ataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.

  1. Prinsip-Prinsip Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.
Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain  :[
-       hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
-       hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
-       hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa:
" Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"
2. Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai.
Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :
a) Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
b) Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)
c) Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
3. Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian
Seperti telah diuraikan sekilas diatas (dalam sub judul prinsip-prinsip pembuktian), maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:
a) Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
b) Teori hukum subyektif
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
c) Teori hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.
d) Teori hukum publik
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
e) Teori hukum acara
Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
B. Alat-Alat Bukti
Menurut undang-undang, ada 5 (lima) macam alat pembuktian yang sah, yaitu
1. Surat-surat
2. Kesaksian
3. persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
Berikut ini akan kami uraikan secara ringkas tentang alat-alat bukti tersebut;
  1. Surat-Surat
Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditandatangani.
Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands).
Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi.
Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat.
Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.
  1. Kesaksian
Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim.
Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.
Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.
Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.
Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.
  1. Persangkaan
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi.
Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).
Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.
  1. Pengakuan
Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi.
Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat, tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima dari penggugat. Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli.
Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan pemisahan kekayaan.
  1. Sumpah
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed).
Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.
Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara.
Suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat “mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak hakim itu sendiri.
Bentuk-bentuk interventie :
a.     Menyertai (voeging), pihak ketiga mencampuri sengketa yang sedang berlangsung antara penggugat dengan tergugat dengan bersikap memihak kepada salah satu pihak.
b.     Menengahi (tussenkomst), penggabungan dari beberapa tuntutan, karena pihak ketiga/intervenient mengajukan tuntutan juga disamping adanya tuntutan dari penggugat dan tergugat, pihak ketiga disini menuntut haknya sendiri terhadap penggugat dan tergugat.
Bentuk putusan akhir:
1)     Putusan declaratoir, putusan yang bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Putusan declaratoir tidak memerlukan upaya paksa karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan dari pihak lawan yang dikalahkan untuk melaksanakannya.
2)     Putusan constitutif, putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadan baru. Putusan ini tidak dapat dilaksanakan, karena tidka menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu, perubahan keadaan atau hubungan hukum itu sekaligus terjadi pada saat putsan itu diucapkan tanpa memerlukan upaya paksa.
3)     Putusan dondemnatoir, putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Didalam putusan condemnatoir diakui hak penggugat atas prestasi yang dituntutnya dan mewajibkan tergugat untuk memenuhi prestasi, maka hak daripada penggugat yang telah ditetapkan tersebut dapat dilaksanakan dengan paksa (execution).








DAFTAR PUSTAKA
- Prof. Subekti,S.H., "Pokok-Pokok Hukum Perdata





Pengikut