Perusahaan mestinya lebih fokus pada upaya mengapresiasi karyawan yang kinerjanya bagus dan mendisiplinkan pegawai yang kerjanya amburadul. Bukan mempermasalahkan Facebook
Mat Bloger sedang mabuk kepayang dalam pelukan Facebook. Jejaring sosial itu bagaikan pil nikmat yang bisa membuat dirinya ekstase. Setiap saat dia membuka Facebook dengan BlackBerry Storm miliknya, di kantor, di bus, di taksi, di mal, di kafe, di mana-mana. Macam-macam yang ia kerjakan: melihat status teman, mengunggah foto dan video, bincang-bincang dengan koleganya di mancanegara, memainkan game Trivian atau balapan mobil, dan sebagainya.
Saking terlenanya oleh Facebook, Mat Bloger ditegur bosnya. Dia dianggap lebih mementingkan jejaring sosial itu ketimbang pekerjaan. Produktivitasnya pun dinilai turun. Tentu saja Mat Bloger tak terima ditegur begitu.
“Semprul! Bos macam apa itu? Mosok saya disebut buang-buang waktu dan kurang produktif. Membuka Facebook kan bagian dari pekerjaan, Mas. Saya memperluas jaringan, berkomunikasi dengan para klien, dan memantau pasar. Huh, dasar sontoloyo!”
Saya ngakak mendengar Mat Bloger mengomel. Facebook memang memicu kontroversi. Di beberapa perusahaan, akses ke Facebook malah sudah diblokir karena dipandang tiada gunanya dan hanya membuang waktu. Tapi di korporat-korporat lain, jejaring sosial itu dibiarkan karena dianggap bagus bagi karyawan. Mana yang benar?
Facebook itu memang fenomena teknologi yang membuat kita berdecak-decak kagum. Dua tahun belakangan ini jumlah penggunanya melonjak drastis di seluruh dunia, sekitar 250 juta, atau bertambah 50 juta dalam tiga bulan terakhir. Di Indonesia saja, lebih dari 6,8 juta pengguna. Dan Indonesia berada di peringkat tujuh negara dengan pengguna terbanyak.
Popularitas itu membuat sebagian kalangan lalu menimbang-nimbang baik dan buruknya. Awal pekan ini, lembaga riset Nucleus Research menyurvei pengaruh Facebook terhadap produktivitas karyawan. Survei dilakukan secara acak terhadap 237 pekerja kantoran. Hasilnya menunjukkan Facebook menurunkan 1,5 persen produktivitas karyawan. Artinya, jika ada 100 pegawai yang semuanya membuka Facebook ketika bekerja, itu sama dengan perusahaan kehilangan 1,5 karyawan. Sebanyak 87 persen responden mengaku aktivitas mereka di Facebook tak berhubungan dengan pekerjaannya. Tapi rasanya terlalu dini kita mengambil kesimpulan dari survei dengan sampel yang sangat kecil.
Pada Juni lalu, perusahaan aplikasi berbasis web 2.0, Facetime, mengeluarkan hasil berbeda. Menurut survei mereka, 1.199 responden dari kalangan profesional di bidang teknologi menganggap jejaring sosial seperti Facebook sangat penting bagi pekerjaan mereka. Sebanyak 46 persen responden menilai aplikasi jejaring sosial–Linkedn, Facebook, dan Twitter–memiliki business value. Tapi 31 persen responden mengakui penggunaan jejaring itu perlu dikontrol.
Profesor Brent Coker dari Universitas Melbourne mengungkapkan data lain. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya terhadap 300 responden, lebih dari 9 persen karyawan lebih produktif jika sempat istirahat sejenak. Istirahat sejenak itu maksudnya berkegiatan di sela menyelesaikan pekerjaan, misalnya merokok, mengudap, ngobrol, atau membuka Facebook.
“Jadi kesimpulannya bagaimana, Mas? Facebook itu baik atau buruk?”
“Kita tak bisa melihat masalah ini secara hitam-putih, Mat. Facebook mungkin memang meningkatkan produktivitas, barangkali juga tidak. Untuk karyawan yang mampu mengelola waktu, menata prioritas kerja, Facebook tentu bukan ancaman. Sebaliknya bagi mereka yang terlalu larut membuka jejaring sosial itu, misalnya lebih dari empat jam atau separuh jam kerjanya, tentu Facebook bakal jadi masalah.
Manajemen sebuah perusahaan juga tak bijaksana bila serta-merta menutup akses ke jejaring tersebut. Perusahaan mestinya lebih fokus pada upaya mengapresiasi karyawan yang kinerjanya bagus dan mendisiplinkan pegawai yang kerjanya amburadul. Bukan mempermasalahkan Facebook
nah itu dia....
apakah..kita mesti diam seribu bahasa ?
silahkan komen disini
http://perpusol-samsam.blogspot.com/2009/06/stop-dreaming-start-action.html