Home » Analisa Ekonomi
Spiritual Menkeu
Kamis, 20 Mei 2010 - 09:23 wib
Rhenald Kasali. (Foto: Ist)
KABAR terpilihnya Agus Martowardojo sebagai menteri keuangan yang baru mudah-mudahan melegakan kita semua. Berbeda dengan menteri-menteri keuangan sebelumnya yang syarat dengan ilmu ekonomi makro dan kuat analisis agregatifnya, Agus adalah figur reformis yang besar di dunia perbankan.
Di Bank Mandiri Agus dikenal sebagai pemimpin yang reformis dan berhasil. Saya bahkan belum melihat perusahaan milik negara selain Bank Mandiri yang berhasil melakukan perubahan. Dia berhasil mengembalikan kepercayaan nasabah dari segala sisi. Di tangan Agus, non-performing loan (kredit macet) bank ini dari 26, 5 persen turun menjadi di bawah dua persen.
Demikian pula, tingkat pelayanan meningkat dari rating nomor 16 menjadi nomor 1. Bank Mandiri diyakini para pemilik media sebagai bank yang bersih. Di dalam dia dikenal sebagai pekerja keras yang memberi contoh kepada bawahannya dan jeli memperbaiki kekurangan-kuat mengendus pasar.
Dia dihormati di dalam dan disegani di luar. Dengan demikian, reformasi birokrasi bisa berjalan terus, kecuali sebuah sabotase politik menghadang Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saya menyebut menkeu baru ini sebagai spiritual menkeu. Dia berorientasi pada kesejahteraan rakyat melalui pembenahan birokrasi.
Memperjuangkan Kebenaran
Spiritual menkeu bukanlah sekadar ekonom yang kuat ilmu ekonominya. Lebih dari itu dia adalah seorang yang berani memperjuangkan kebenaran. Bukankah di era demokrasi dan era pamer kekuasaan saat ini yang mahal adalah “kebenaran” itu sendiri? Tengoklah kiri dan kanan Anda. Di manamana orang mengagung-agungkan kebenaran menurut versinya masing-masing. Namun seperti apa sesungguhnya kebenaran itu? Di dunia akademis, selama ratusan tahun para ilmuwan bekerja sangat keras untuk mencari kebenaran sejati.
Kebenaran itu di hipotesakan, lalu diuji, dan diperiksa luar dalam. Ilmuwan sejati sesungguhnya amat takut bermainmain dengan kebenaran, meski untuk memperjuangkan kebenaran itu selalu saja penuh tantangan. Dalam tataran kebijakan, perjuangan seseorang menjalankan kebenaran pun akan berhadapan dengan berbagai kepentingan.
Ekonom bukan politisi, meski sekarang juga banyak ekonom yang menjadi politisi atau berbicara dari kacamata politik. Sebagai ekonom, kadang saya tersenyumsenyum menyaksikan dialog-dialog yang menggebu, bahkan cenderung menyesatkan terus dibiarkan mengalir. Manusia mulai sulit membedakan antara sinis dan kritis. Ada semacam mitos yang mengatakan bahwa yang kritis adalah yang sinis. Ini benar-benar janggal, orangorang yang kritis sesungguhnya tidak sinis. Namun, begitu seseorang selalu sinis sudah pasti dia tidak kritis.
Dia hanya reaktif belaka dan terlalu cepat mengambil keputusan. Orang-orang seperti ini tentu terlalu berbahaya bagi kemajuan suatu bangsa. Dia tidak akan membawa kesejahteraan, sebaliknya hanya pandai mencari celah untuk memutarbalikkan sebuah cerita. Lantas seperti apakah sosok spiritual menkeu yang dibutuhkan negeri ini? Dia jelas bukanlah seorang akademisi biasa atau ilmuwan teoretis. Dia adalah seseorang yang berani menjalankan prinsip-prinsip perubahan dalam arti yang sebenarnya. Sebab, sebagai seorang menteri, dia tidak bekerja sendirian.
Dia bekerja dengan jajaran-jajarannya, dengan birokrasi di bawahnya yang jumlahnya puluhan ribu orang. Mereka berada dalam direktorat-direktorat yang berbeda-beda, dalam lapisan dan pangkat yang berbeda-beda pula. Mereka itu semua bekerja berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang harus terus diperbaiki, diawasi dan diberi contoh yang tepat. Kita tidak membutuhkan menkeu yang hafal formula-formula ekonomi, namun lebih dari itu, Indonesia butuh seorang pemindah gunung. Seperti kata Archimedes, ”Tunjukkanlahdimanaakuberdiri, maka aku akan memindahkan gunung itu. ”Mengapa seperti itu? Jawabannya adalah karena di Indonesia bukanlah ekonomi yang menjadi panglima perang, melainkan politik.
Sebaliknya para penganut paham demokrasi percaya, demokrasi akan membawa kesejahteraan. Namun dalam era demokrasi ini, rakyatnya ternyata punya agenda yang berbeda dengan para politisi. Hal yang mereka cari bukanlah kekuasaan, melainkan kesejahteraan. Kalau sudah seperti itu, bisakah seorang ekonom biasa-biasa saja memperbaiki nasib kita?
Jejak Agus
Kemarin, dalam farewell lecture yang kami selenggarakan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia untuk melepas kepergian Sri Mulyani, Agus Martowardojo sempat meluangkan waktu. Di situ dia sempat mendengarkan farewell lecture yang diberikan Sri Mulyani dan bertemu dengan para mantan menteri ekonomi. Dari Ali Wardana, Subroto, Dorojatun Kuntjoro-Jakti, sampai Sumarlin. Agus termasuk orang yang cerdas memilih prioritas. Dia bekerja sangat keras.
Di Bank Mandiri dia dikenal sebagai pemimpin yang teguh. Rapat bisa dimulai dari pagi sampai pagi hari esoknya. Meski meletihkan, semua orang bisa menerima karena belakangan kerja keras mereka terbukti berhasil. Dalam setahun terakhir ini saya banyak berhubungan dengan Bank Mandiri, khususnya dalam membentuk komunitas wirausaha muda Indonesia. Dari situlah saya melihat Agus adalah sosok yang sangat profesional. Saat dia melarang korupsi, dia sendiri menjalankan prinsip itu, sehingga bawahan-bawahannya melihat contoh. Demikian pula saat menangani nasabah-nasabah ”nakal” warisan direksi sebelumnya yang membuat Bank Mandiri kebanjiran kredit-kredit bermasalah. Dia langsung bertindak tegas.
Seperti Sri Mulyani yang mengatakan pemimpin harus memberi contoh dan melindungi bawahannya, dia pun memberanikan anak-anak buahnya untuk menegakkan aturan. Nasabahnasabah ”nakal” itu mereka panggil, dan yang tetap membandel diiklankan. Beberapa di antara mereka adalah nasabah-nasabah yang memiliki back-up pejabat, mantan penguasa atau orang-orang yang berpengaruh. Tentu saja mereka tidak terima dan melawan. Saat ditekan Agus dengan tegas menyampaikan prinsipnya. Dia melindungi keputusan yang diambil anak buahnya. Waktu berjalan, ternyata nasabah-nasabah itu pun bertobat. Mereka memperbaiki hubungannya.
Seorang eksekutif Bank Mandiri yang menangani kredit-kredit bermasalah menjelaskan, “Ternyata yang dibutuhkan masyarakat adalah ketegasan. Sekali mereka lihat arah kita jelas, mereka akan berhenti menawar dan mulai mengikuti aturan. Namun sekali kita terlihat lemah, mereka akan terus menekan, ”ujarnya. Lebih jauh ternyata hukum habitat berlaku. Sekali kita membiarkan nasabah nakal bersarang di sini, dia akan datang bersama teman-temannya. Sebaliknya, nasabah-nasabah yang bagusbagus enggan berbaur dengan nasabah nakal. Sebaliknya juga terjadi. Saat nasabah-nasabah nakal dibersihkan, nasabah-nasabah bersih pun mulai bermunculan.
Saya percaya Agus dapat menorehkan kembali tinta emasnya di Kementerian Keuangan. Dia memang bukan seorang doktor ekonomi seperti layaknya menterimenteri keuangan sebelumnya. Namun sesungguhnya dia adalah seorang reformer yang patut diperhitungkan. Saatnya bagi para koruptor untuk bertobat dan reformasi birokrasi terus dilanjutkan. Selamat bertugas, Pak Agus. (*)
Rhenald Kasali
Ketua Program MM UI