NASKAH AKADEMIK
KAJIAN KEBIJAKAN KURIKULUM
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
PUSAT KURIKULUM
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
2007
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007
ABSTRAK
Program pendidikan nasional diharapkan dapat menjawab tantangan harapan dan
tantangan yang akan dihadapi oleh anak bangsa baik pasa masa kini maupun masa yang
akan datang. Kajian kebijakan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) bertujuan
untuk memberikan masukan kepada BSNP terkait dengan penyempurnaan dokumen
standar isi dan pelaksanaannnya serta pengembangan kurikulum PKn di masa depan.
Ruang lingkup kajian ini adalah standar kompetensi dan kompetensi mata pelajaran PKn.
Naskah akademik ini tersusun berdasarkan hasil sintesis dari rangkaian kegiatan yang
meliputi penyusunan desain untuk menetapkan fokus kajian, kajian dokumen Standar Isi,
kajian pelaksanaan standar isi, diskusi hasil kajian dokumen standar isi, diskusi hasil
kajian pelaksanaan stadar isi, studi dokumentasi standar isi, analisis data hasil kajian,
penyusunan hasil kajian, presentasi hasil kajian, dan penyusunan laporan. Peserta kegiatan
ini terdiri atas unsur perguruan tinggi (UNJ dan UNP), praktisi pendidikan (guru-guru
berpengalaman), dan Pusat Kurikulum. Kajian ini dilakukan melalui seminar, diskusi
fokus, kajian dokumen., dan rapat kerja/workshop.
Hasil kajian ini menghasilkan beberapa temuan, yaitu: Berkaitan dengan beban belajar,
maka komposisi jumlah SK dan KD untuk tiap semester baik untuk SD, SMP maupun
SMA dinilai cukup memadai. Aspek sikap dan perilaku yang menjadi ”stressing” PKn
proporsinya hanya 12 % KD, 20,17% aspek perilaku, dan aspek pengetahuan 69,43 %.
Overlapping (tumpang tindih) ditemukan pada KD 4.2 Kelas I dengan KD 2.4 Kelas III.
Untuk SMP kelas VII ditemukan SK 3 dan 4 Kelas VII, sehingga disarankan untuk
digabung. Untuk SMA misalnya KD 2.3 Kelas XI dengan KD 2.2 Kelas XII dan KD 3.3
Kelas X dengan KD 5.2 Kelas XI. Ada cakupan KD yang lebih luas dari SK. Adanya
anggapan ketidakruntutan pendekatan berpikir pada KD jenjang SD, yaitu KD 3.1, 3.2,
dan 3.3 Kelas III; dan KD 4.3 yang terhalang oleh KD 4.2 pada Kelas IV. Selain itu,
Ditemukan adanya istilah yang tidak benar secara konsep keilmuan, yaitu penggunaan
istilah bentuk-bentuk kenegaraan pada KD 1.2 Kelas X SMA. Dalam konteks ilmu negara
tidak ada istilah bentuk-bentuk kenegaraan, yang ada ialah bentuk-bentuk negara yang
sering dibahas secara bersama dengan bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan. Ada
rumusan KD yang dianggap terlalu berat untuk ukuran siswa,
Hasil kajian kebijakan kurikulum PKn berupa rekomendasi, yaitu untuk jangka pendek
antara lain: Perlu penghalusan rumusan KD sehingga tidak dikesankan tumpang tindah
dan memberi batas-batas yang jelas antar KD. Perlu penyesuaian urutan KD dalam
beberapa SK dengan memperhatikan logika penyajian deduktif atau induktif. Perlu
penyesuaian penggunaan kata kerja operasional (kko) dalam beberapa KD sesuai dengan
tingkat perkembangan siswa. Perlu dilakukan kegiatan penyerasian antar KD
antarmatapelajaran. Perlu Panduan Khusus yang menuntun guru SD kelas 1 – 3 dalam
menyusun dan melaksanakan program secara praktis. Perlu segera menerbitkan buku teks
pelajaran atau buku sumber/pendukung yang sesuai dengan SI PKn. Untuk jangka
panjang antara lain: Perlu kajian yang lebih mendalam dan komprehensif untuk
memantapkan cakupan kompetensi dan konten PKn agar sesuai dengan misi utama PKn
dan SKL mata pelajaran PKn. Untuk kelas 1 – 3 SD yang menggunakan pendekatan
tematik, perlu penyesuaian dan pengkajian Standar Isi secara bersama pada seluruh mata
pelajaran yang disajikan di kelas 1 hingga kelas 3. Sehingga tidak terjadi kesulitan bagi
bagi guru untuk mengembangkan silabus dan RPP tematik bagi kelas 1 hingga kelas 3.
Bila perlu bahkan untuk kelas 1 – 3 SD perlu disusun Kurikulum Integratif atau
Kurikulum Terpadu.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 ii
KATA PENGANTAR
Pemberlakuann UU Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan
Pemerintah No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
menuntut cara pandang yang berbeda tentang pengembangan dan pelaksanaan kurikulum.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu pada standar nasional
pendidikan, standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar tenaga kependidikan,
standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pmbiayaan, dan standar penilaian
pendidikan. Dari kedelapan standar isi tersebut, standar isi dan standar kompetensi lulusan
merupakan acuan utama dalam pengembangan KTSP. Standar isi adalah ruang lingkup materi dan
tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan
kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta
didik pada jenjang dan jenis pendidikan .
Pengembangan kurikulum telah dilakukan oleh sebagian satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dengan mengacu pada standar isi. Pengembangan kurikulum tersebut perlu
ditelaah untuk mendapatkan informasi tentang permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan
pelaksanaan standar isi tersebut.
Hasil pengkajian antara lain berupa naskah akademik :
1. Kajian Kebijakan Kurikulum SD
2. Kajian Kebijakan Kurikulum SMP
3. Kajian Kebijakan Kurikulum SMA
4. Kajian Kebijakan Kurikulum SMK
5. Kajian Kebijakan Kesetaraan Dikdas
6. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Agama
7. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Kewarganegaraan
8. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa
9. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Matematika
10. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA
11. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPS
12. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Keterampilan
13. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Kesenian
14. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran TIK
15. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pendidikan Jasmani
Salah satu hasil kajian di atas adalah Naskah Akademik Kebijakan Kurikulum Pendidikan
Kewarganegaraan. Naskah akademik ini memberikan gambaran tentang kajian pelaksanaan
standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran PKn dan permasalahannya yang
digunakan sebagai masukan bagi para pengambil kebijakan.
Pusat Kurikulum menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak
yaitu Perguruan Tinggi, Direktorat di lingkungan Depdiknas, Dinas Pendidikan, dan praktisi
pendidikan yang telah membantu Pusat Kurikulum dalam menghasilkan naskah akademik ini.
Kepala Pusat Kurikulum
Badan Penelitian dan Pengembangan
Depdiknas,
Diah Harianti
NIP. 131286957
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
Abstrak
Kata Pengantar
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Landasan Yuridis
C. Tujuan
D. Ruang Lingkup Kajian
E. Metode dan tahapan kajian
Bab II Kajian Teoretis
Bab III Temuan Kajian dan Pembahasan
A. Deskripsi Responden
B. Deskripsi Hasil Kajian Dokumen Standar isi PKn
C. Kajian Pelaksanaan
D. Ringkasan Temuan Kajian Dokumen dan Lapangan
E. Pembahasan Temuan Kajian Dokumen dan Lapangan
Bab IV Kesimpulan dan Rekomensasi
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi Jangka Pendek
C. Rekomendasi Jangka Panjang
Daftar Pustaka
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada Tahun 2005 telah dikeluarkan Permendiknas No. 22 Tentang Standar Isi dan No.
23 Tentang Standar Kompetensi Lulusan. Selain itu dikeluarkan pula Permendiknas
No. 24 yang mengatur tentang Pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan No. 23.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka mulai diterapkanlah Stándar Isi dan
Stándar Kompetensi Lulusan pada beberapa sekolah di seluruh Indonesia, khususnya
pada sekolah-sekolah yang telah memiliki kesiapan untuk melaksanakannya.
Setelah diterapkan selama lebih kurang satu tahun, maka perlu dilakukan pemantauan
atau bahkan pengkajian terhadap dokumen dan pelaksanaan Stándar Isi. Dalam
kerangka itu Permendiknas No. 24 telah menegaskan paranan Balitbang, khususnya
Pusat Kurikulum dalam kegiatan pengkajian dalam rangka pengembangan modelmodel
kurikulum. Dalam Permendiknas tersebut ditegaskan bahwa salah satu Tugas
Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) Pusat Kurikulum adalah melaksanakan pengkajian
Standar Isi dalam pengembangan kurikulum untuk pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta kejuruan. Salah satu yang menjadi
bagian dari kajian tersebut adalah melakukan kajian kurikulum dari berbagai mata
pelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang dijadikan sebagai dasar
untuk melakukan pengembangan model-model kurikulum yang menjadi tanggung
jawab Pusat Kurikulum.
Untuk melaksanakan kegiatan tersebut perlu dilakukan serangkaian kegiatan analisis
dan kajian kurikulum, khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah.
B. Landasan Yuridis
Kegiatan kajian ini dilaksanakan berdasarkan landasan yuridis sebagai berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1).
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan.
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006
Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006
Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar
Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.
6. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Tahun
2005-2009.
C. Tujuan
Secara umum kegiatan ini bertujuan untuk melakukan kajian terhadap dokumen dan
pelaksanaan Standar Isi Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 2
pengembangan kurikulum mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan secara terusmenerus
dan berkesinambungan.
Secara khusus tujuan kegiatan kajian ini adalah untuk:
1. mengkaji kebenaran dan relevansi konsep dalam Standar Isi dengan tujuan dan
landasan filosofis, yuridis, sosio-cultural, sosio-pedagogis, dan perkembangan
keilmuan terkini.
2. mengkaji keluasan dan kedalaman cakupan materi dalam Standar Isi sesuai level
perkembangan peserta didik dan jumlah jam pelajaran yang tersedia.
3. mengkaji sekuensa atau keruntutan antarkonsep yang terdapat pada Standar Isi.
4. mengkaji keterlaksanaan Standar Isi dalam praktik pembelajaran, baik oleh guru
(khususnya dalam mengembangkan silabus dan RPP) maupun oleh siswa dalam
proses pembelajaran.
5. memberikan masukan kepada BSNP dalam rangka perbaikan implementasi dan
penyempurnaan Standar Isi.
D. Ruang Lingkup Kajian
Ruang lingkup kegiatan kajian ini terdiri dari:
1. Lingkup Jenis dan Jenjang Pendidikan:
a. Pendidikan Dasar terdiri atas :Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, dan Sekolah
Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah.
b. Pendidikan Menengah terdiri atas: Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
dan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan.
2. Lingkup Mata Pelajaran: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan
Kewarganegaran.
E. Metode dan Tahapan Kajian
Metode yang digunakan dalam kegiatan kajian ini adalah:
(1) Seminar, yang dimaksudkan untuk mengetahui kurikulum dan model kurikulum
masa depan, khususnya tentang Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan.
(2) Studi dokumen, yaitu untuk mengkaji dokumen Standar Isi, khususnya pada mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
(3) Studi lapangan, yaitu meminta para guru PKn untuk memberikan analisis dan
tanggapan terhadap keterlaksanaan Standar Isi dalam pembelajaran di sekolah.
(4) FGD (Focus Group of Discussion), dengan melibatkan para pakar dan
stakeholders terkait dengan Pendidikan Kewarganegaraan untuk menetapkan
fokus kajian, menganalisis hasil-hasil seminar dan temuan kajian dan
merumuskan hasil akhir kajian.
Kegiatan kajian ini dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut:
(1) Penyusunan desain untuk menetapkan fokus kajian,
(2) Melakukan kajian dokumen Standar Isi,
(3) Kajian pelaksanaan standar isi,
(4) Diskusi hasil kajian dokumen standar isi,
(5) Diskusi hasil kajian pelaksanaan stadar isi,
(6) Studi dokumentasi standar isi,
(7) Analisis data hasil kajian,
(8) Penyusunan hasil kajian,
(9) Presentasi hasil kajian, dan
(10) Penyusunan laporan.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Watak dan
Peradaban bangsa Indonesia
Sebagaimana diketahui bahwa Pendidikan Kewarganegaraan pada hakikatnya
merupakan pendidikan yang mengarah pada terbentuknya warga negara yang baik dan
bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai dan dasar negara Pancasila. Atau dengan
perkataan lain merupakan pendidikan Pancasila dalam praktek. Secara konseptualepistemologis,
pendidikan Pancasila dapat dilihat sebagai suatu integrated knowledge
system (Hartonian: 1996, Winataputra:2001) yang memiliki misi menumbuhkan
potensi peserta didik agar memiliki "civic intelligence" dan "civic participation" serta
"civic responsibility" sebagai warga negara Indonesia dalam konteks watak dan
peradaban bangsa Indonesia yang ber-Pancasila (Winataputra, 2001, 2006).
Apakah makna pendidikan Pancasila dalam pembangunan watak dan peradaban
bangsa yang bermartabat? Untuk menjawab pertanyaan ini, pendidikan Pancasila
perlu dilihat dalam tiga tataran, yakni: pendidikan Pancasila sebagai kemasan kurikuler
(mata pelajaran atau mata kuliah), sebagai proses pendidikan (praksis pembelajaran),
dan sebagai upaya sistemik membangun kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara
Kesatuan Republik Indonesia ke depan (proses nation’s character building).
1. Pendidikan Pancasila sebagai kemasan kurikuler
Kemasan kurikuler pendidikan Pancasila secara historis-kurikuler telah mengalami
pasang surut (Winataputra:2001). Dalam kurikulum sekolah sudah dikenal, mulai
dari Civics tahun 1962, Pendidikan Kewargaan Negara dan Kewargaan Negara
tahun 1968, Pendidikan Moral Pancasila tahun 1975, Pendidikan Pencasila dan
Kewarganegaraan tahun 1994, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003.
Sementara itu di perguruan tinggi sudah dikenal Pancasila dan Kewiraan Nasional
tahun 1960-an, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan tahun 1985, dan
Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Di negara lain kemasan kurikuler serupa
itu dikenal sebagai civic education dalam konteks wacana pendidikan untuk
kewarganegaraan yang demokratis menurut konstitusi negaranya masing-masing.
Sebagaimana berkembang di berbagai belahan dunia, tercatat adanya berbagai
nomenklatuur untuk itu, yakni: “Citizenship education” (UK), termasuk di
dalamnya “civic education” (USA) atau disebut juga pendidikan
kewarganegaraan (Indonesia), atau “ta’limatul muwwatanah/at tarbiyatul al
watoniyah (Timur Tengah) atau “educacion civicas” (Mexico), atau
“Sachunterricht” (Jerman) atau “civics” (Australia) atau “social studies” (New
Zealand) atau “Life Orientation (Afrika Selatan) atau “People and society”
(Hungary), atau “Civics and moral education” (Singapore) (Kerr: 1999;
Winataputra:2001). Semua itu merupakan wahana pendidikan karakter ( character
education) yang bersifat multidimensional (Cogan and Derricott: 1998) yang
dimiliki oleh kebanyakan negara di dunia.
Untuk Indonesia pada saat ini, Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas, yakni pada pasal 37 menggariskan program kurikuler pendidikan
kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan
pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. Sebelumnya, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas dikenal dua muatan wajib yakni
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 4
pendidikan Pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan. Pada pendidikan dasar
dan pendidikan menengah dua muatan wajib ini dirumuskan menjadi mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), sedang di
Perguruan Tinggi dirumuskan menjadi dua mata kuliah, yakni Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewiraan. Pada tahun 1985 mata kuliah Pendidikan
Kewiraan berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Perubahan ini ternyata
menimbulkan kesan di kalangan komunitas dosen pengasuh kedua mata kuliah itu
bahwa Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan dua
kemasan kurikuler yang berbeda. Pendidikan Pancasila dianggap sebagai kemasan
kurikuler untuk pendidikan nilai-nilai Pancasila, sedangkan Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan kemasan kurikuler pendidikan kewiraan dan
pendidikan pendahuluan bela negara. Adanya dua persepsi ini ternyata masih
terbawa sampai saat ini, ketika memahami konsepsi muatan pendidikan
kewarganegaraan menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dualisme
ini masih menyisakan kontroversi tentang perlu tidaknya di perguruan tinggi ada
dua mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan yang
sama-sama merupakan wahana kurikuler pendidikan nilai-nilai Pancasila, yang
secara filosofik dan substantif-pedagogis merupakan pendidikan kewarganegaraan
ala Indonesia.
Sesungguhnya, bila kita kembali pada konsepsi bahwa setiap negara memerlukan
wahana edukatif untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya dan menjamin
kelanggengan kehidupan negaranya, maka dualisme persepsi antara Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan tidak perlu terjadi. Telah
dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya untuk Indonesia, pendidikan
kewarganegaraan itu adalah pendidikan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Oleh karena itu dengan cara berfikir konsistensi dan keherensi,
pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia adalah pendidikan Pancasila, atau
Menurut Heri Ahmadi yang bersama dengan Noor Syam dan penulis menjadi
pembicara dalam Seminar Pendidikan dan Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila
pada tanggal 8 Juni 2006 di Jakarta, kemudian disepakati sebagai kesimpulan
Seminar tersebut, ditegaskan bahwa core dari pendidikan kewarganegaraan
untuk Indonesia adalah Pancasila. Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa
pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia secara filosofik dan substantifpedagogis/
andragogis, merupakan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan
pribadi peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang religius,
berkeadaban, berjiwa persatuan Indonesia, demokratis dan bertanggung jawab, dan
berkeadilan.
Untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah, komitmen utuh telah dicapai
sesuai dengan legal framework yang ada, bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan mata pelajaran wajib pada semua satuan pendidikan dasar dan
pendidikan menengah. Aspek-aspek yang menjadi lingkup mata pelajaran ini,
mencakup persatuan dan kesatuan bangsa, norma hukum dan peraturan, hak azasi
manusia, kebutuhan warga negara, konstitusi negara, kekuasaaan dan politik,
Pancasila, dan globalisasi. Walaupun dalam enumerasinya Pancasila ditempatkan
sejajar dengan aspek lain, namun dalam pengorganisasian isi dan pengalaman
belajar hendaknya ditempatkan sebagai core atau concerto dalam orkestrasi
kesemua aspek untuk mencapai tujuan akhir dari pendidikan Pancasila secara
generik. Dengan demikian untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah dapat
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 5
dikembangkan pendidikan kewarganegaraan yang koheren dengan pendidikan
nilai-nilai Pancasila.
Untuk pendidikan tinggi sebaiknya bagaimana? Peserta didik di perguruan tinggi
adalah pemuda dan orang dewasa yang mulai matang, bukan anak usia sekolah
yang secara psikologis masih dalam proses perkembangan menuju kematangan.
Secara multidimensional Pancasila dapat kita bagi dalam tiga tataran, yakni (a)
Pancasila pada tataran filosofik-ideologik, (b) Pancasila pada tataran instrumentalsociokultural,
dan (c) Pancasila pada tataran psikososial-individual dan kolektif.
Pada tataran filosofik-ideologik Pancasila perlu dilihat sebagai integrated
knowledge system yang memiliki dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi,
yang seyogyanya dikaji secara akademik/ilmiyah. Dalam konteks ini Pancasila
harus dilihat sebagai ideologi terbuka untuk pengembangan secara keilmuan.
Pada tataran instrumental-sociokultural Pancasila merupakan sistem nilai yang
menjadi ingredient dan spirit/ethos dari keseluruhan sistem konstitusi dan
kehidupan berkonstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks ini
Pancasila harus dilihat sebagai sistem nilai dan moral yang melandasi
kelembagaan, norma, dan mekanisme kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara Indonesia. Karena itu Pancasila harus diperlakukan sebagai parameter
untuk menakar nilai substatif dari keseluruhan instrumentasi kehidupan
kebernegaraan Indonesia, yang seyogyanya dikaji secara normatif-inferensial. Pada
tataran psikososial-individual dan kolektif, Pancasila harus dilihat sebagai sistem
nilai moral yang seyogyanya diwujudkan dalam pengetahuan, sikap, dan
keterampilan sosial-kultural individu dalam keseharian kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara Indonesia. Karena itu Pancasila harus diperlakukan
sebagai sumber rujukan prilaku yang perlu diinternalisasi oleh individu dalam
perannya sebagai anggota masyarakat, komponen bangsa, dan warga negara
Indonesia.
Dengan argumen tersebut, ada dua alternatif pengemasan pendidikan Pancasila di
perguruan tinggi. Pertama, konsisten dengan pasal 37 UU No.20 tahun 2003
tentang Sisdiknas, ketiga tataran pendidikan Pancasila (filosofik-ideologik, tataran
instrumental-sociokultural dan psikososial-individual dan kolektif) dikemas utuh
dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, dengan beban belajar 3-4 sks.
Kedua, secara kurikuler, pendidikan Pancasila dikemas dalam dua mata kuliah,
yakni Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan dengan beban
belajar masing-masing 2 sks. Mata kuliah Kajian Pancasila yang dikembangkan
sebagai program kurikuler yang mewadahi pendidikan Pancasila pada tataran
filosofik-ideologik dan instrumental-sosiokiltural, sedangkan mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan dikembangkan sebagai program kurikuler yang
mewadahi pendidikan Pancasila pada tataran psikososial individual dan kolektif.
Sebagai benchmark, marilah kita lihat konsep civic education secara generikakademik,
yang di Indonesia disebut pendidikan kewarganegaraan dalam makna
generik pendidikan Pancasila, kini menjadi konsep yang lebih multifaset. Adalah
CIVITAS International (2006) yang merumuskan kosep tersebut secara lebih luas
seperti berikut.
“Civic education involves many things: the study of constitutions; the rule of
law and the operations of public institutions; the study of electoral
processes;instruction in the values and attitudes of good citizenship; the
development of the skills of government and politics; issues of human rights
and intergroup relations; and conflict resolution.Civic education is
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 6
pedagogy, encompassing education and training of both youths and adults in
and outside of schools. Civic education can also take place through radio
and televition broadcasting and othr means. Distance learning techniques
are increasingly important, particularly in the developing world.
2. Pendidikan Pancasila sebagai Proses Pendidikan: Praksis Pembelajaran
Semua proses pendidikan pada akhirnya harus menghasilkan perubahan prilaku
yang lebih matang secara psikologis dan sosiokultural. Karena itu inti dari
pendidikan, termasuk pendidikan Pancasila adalah belajar atau learning. Dalam
konteks pendidikan formal dan nonformal, proses belajar merupakan misi utama
darai proses pembelajaran atau instruction. Secara normatif, dalam Pasal 1 butir 20
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dirumuskan bahwa ”Pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar”. Satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,
SMK/MAK, sekolah tinggi, institut, dan universitas) merupakan suatu lingkungan
belajar pendidikan formal yang terorganisasikan mengikuti legal framework yang
ada. Oleh karena itu proses belajar dan pembelajaran harus diartikan sebagai
proses interaksi sosiokultural-edukatif dalam konteks satuan pendidikan, bukan
hanya dibatasi pada konteks klasikal mata pelajaran atau mata kuliah.
Dalam kontes itu, maka pendidikan Pancasila dalam pengertian generik, harus
diwujudkan dalam keseluruhan proses pembelajaran, bukan hanya dalam
pembelajaran mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Kajian
Pancasila. Karena itu konsep pembudayaan Pancasila yang menjadi tema
sandingan pendidikan Pancasila, menjadi sangat relevan dalam upaya menjadikan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai ingredient pembangunan
watak dan peradaban Indonesia yang bermartabat. Dalam konteks itu maka satuan
pendidikan seyogyanya dikembangkan sebagai satuan sosiokultural-edukatif yang
mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan satuan pendidikan yang
membudayakan dan mencerdaskan.
3. Pendidikan Pancasila sebagai Upaya Sistemik Membangun Kehidupan
Masyarakat, Bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan:
Proses nation’s character building.
Gerakan reformasi yang masif di Indonesia pada akhir dasawarsa 1990-an, telah
berujung dengan jatuhnya Presiden Soeharto selaku penguasa Orde Baru.
Kemudian naiknya Presiden Habibie telah berhasil memancangkan tonggak awal
demokratisasi berupa kebebasan pers yang bertambah luas, Pemilu yang jujur, adil,
dan transparan. Lalu terpilihnya Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) telah
memungkinkan reformasi demokrasi terus berlanjut. Dengan naiknya Presiden
Megawati Soekarnoputri (Mbak Mega) reformasi demokrasi terus bergulir. Pada
kurun waktu tiga Presiden pasca Soeharto inilah dihasilkan Perubahan ke 1 sampai
ke 4 atas UUD 1945 yang secara konseptual dan normatif diyakini merupakan
konstitusi yang lebih mewadahi cita-cita dan demokrasi yang tepat untuk
Indonesia. Atas dasar UUD 1945 yang telah diamandemen ini untuk
pertamakalinya diselenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung, yang mengantarkan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Mohamad
Jusuf Kala (MJK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Dengan Pancasila seperti
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan Perubahannya atas batang tubuh UUD
1945 kehidupan berkonstitusi mengalami banyak perubahan baik pada tataran
instrumental maupun pada tataran praksis. Proses demokratisasi di Indonesia yang
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 7
berdasarkan Pancasila telah menjadi semakin luas jangkauannya dan semakin
tinggi intensitasnya. Namun demikian ternyata semakin banyak pula anomalinya
pada semua tataran, seperti disharmoni antar peraturan perundang-undangan pada
tataran instrumental, dan fenomena proses demokrasi yang cenderung anarkhis.
Selain dalam Upacara dimana Pancasila dibaca serempak dibawah pemandu
Pembina Upacara, tampaknya banyak pejabat, dosen, atau tokoh masyarakat yang
malu-malu kucing menyebut Pancasila. Keadaan ini memang benar-benar
menyedihkan. Apakah hal ini mencerminkan bahwa telah terjadinya inkonsistensi
dan disharmoni dari instrumentasi dengan idea dan sistem nilai Pancasila?
Fenomena tersebut di atas, memberi ilustrasi bahwa ternyata untuk membangun
kehidupan berdemokrasi konstitusional yang berdasarkan Pancasila itu tidaklah
semudah yang diduga kebanyakan orang, karena memang kehidupan demokrasi
konstitusional tidak bisa dibangun seketika atau dalam waktu singkat. Sangat
banyak faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya demokrasi dalam
suatu negara. Bahmuller (1996:216-221) menidentifikasi sejumlah faktor yang
berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi suatu negara, yaitu: “…the degree
of economic development; …a sense of national identity; …historical experience
and elements of civic culture.” Maksudnya adalah bahwa tingkat perkembangan
ekonomi, kesadaran identitas nasional, dan pengalaman sejarah serta budaya
kewarganegaraan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
demokrasi suatu negara. Salah satu unsur dari budaya kewarganegaraan adalah
“civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan yang terpancar dari
nilai-nilai Pancasila mencakup keterlibatan aktif warganegara, hubungan
kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif,
solidaritas, dan semangat kemasyarakatan. Semua unsur akhlak kewarganegaraan
itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan “civic community” atau
“civil society” atau masyarakat madani untuk Indonesia yang berdasarkan
Pancasila. Dengan kata lain tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani-
Pancasila bersifat interaktif dengan tumbuh dan berkembangnya akhlak
kewarganegaraan (civic virtue) yang merupakan unsur utama dari budaya
kewarganegaraan yang ber-Pancasila (civic culture). Oleh karena itu diperlukan
adanya dan berperannya pendidikan pancasila yang menghasilkan demokrasi
konstitusional yang mampu mengembangkan akhlak kewarganegaraan-
Pancasilais. Dalam waktu bersamaan proses pendidikan tersebut harus mampu
memberi kontribusi terhadap berkembangnya budaya Pacasila yang menjadi inti
dari masyarakat madani-pancasila yang demokratis. Inilah tantangan konseptual
dan operasional bagi pendidikan Pancasila untuk membangun demokrasi
konstitusional di Indonesia.
Masyarakat madani-Pancasila atau “civic community” atau “civil society” yang
ditandai oleh berkembangnya peran organisasi kewarganegaraan di luar organisasi
kenegaraan dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai Pancasila,
perlu dipatri oleh kualitas pribadi “…true belief and sacrifice for God, respect for
human rights, enforcement of rule of law, extension participation of citizens in
public decision making at various levels, and implementation of the new form of
civic education to develop smart and good citizens”.(Sudarsono,1999:2).
Maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan masyarakat madani tersebut harus
terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap hak azasi manusia, perwujudan
negara hukum, partisipasi warganegara yang luas dalam pengambilan kebijakan
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 8
publik dalam berbagai tingkatan, dan pelaksanaan paradigma baru pendidikan
kewarganegaraan untuk mengembangkan warganegara (Indonesia) yang cerdas
dan baik. Dari situ dapat ditangkap tantangan bagi pendidikan demokrasi
konstitusional di Indonesia adalah bersistemnya pendidikan Pancasila dengan
keseluruhan upaya pengembangan kualitas warganegara dan kualitas kehidupan
ber-Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, dalam masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia.
Secara teoritik, konsep civic culture atau budaya Pancasila terkait erat pada
perkembangan democratic civil society atau masyarakat madani-Pancasila yang
mempersyaratkan warganya untuk melakukan proses individualisasi, dalam
pengertian setiap orang harus belajar bagaimana melihat dirinya dan orang lain
sebagai individu yang merdeka dan sama tidak lagi terikat oleh atribut-atribut
khusus dalam konteks etnis, agama, atau kelas dalam masyarakat. Masyarakat
sivil yang demokratis tidak mungkin berkembang tanpa perangkat budaya yang
diperlukan untuk melahirkan warganya. Karena itu pula negara harus mempunyai
komitmen untuk memperlakukan semua wara negara sebagai individu dan
memperlakukan semua individu secara sama. Secara spesifik civic culture
merupakan budaya yang menopang kewarganegaraan yang berisikan …a set of
ideas that can be embodied effectively in cultural representations for the purpose
of shaping civic identities- atau seperangkat ide-ide yang dapat diwujudkan secara
efektif dalam representasi kebudayaan untuk tujuan pembentukan identitas
warganegara. Oleh karena itu Civic culture merupakan salah satu sumber yang
sangat bermakna bagi pengembangan dan perwujudan civic education
(http://www.civsoc.com/nature/nature1). Sementara itu budaya politik atau
political culture diartikan sebagai Distinctive and patterned way of thinking about
how political and economic life ought to be carried out, atau pemikiran yang khas
dan terpolakan tentang bagaimana kehidupan politik dan ekonomi seharusnya
diselenggarakan, dalam pengertian diwujudkan (http://www.socialstudies
help.com/ APGOV _Notes_WeekFour.). Dari kedua pengertian tentang civic
culture dan political culture dapat dikatakan bahwa civic culture berada dalam
domain sosiokultural yang berorientasi pada pembentukan kualitas personalindividual
warga negara, jadi bersifat psikososial. Sedangkan political culture
berada dalam domain makro masyarakat negara, jadi bersifat sosiopolitis dalam
konteks kehidupan demokrasi. Keduanya memiliki kesamaan yakni sebagai hasil
pemikiran yakni civic culture sebagai perangkat gagasan atau set of ideas
sedangkan political culture sebagai perangkat pemikiran atau distinctive and
patterned way of thinking. Perbedaannya adalah dalam hal civic culture
berkenaan dengan proses adaptasi psikososial individu dari ikatan budaya
komuniter (keluarga, suku, masyarakat lokal) ke dalam ikatan budaya kewargaan
suatu negara/ kewarganegaraan.
Secara konseptrual antara civic culture dengan political culture satu sama lain
memiliki saling ketergantungan (interdependence). Di satu pihak civic culture
memberi kontribusi dalam membangun identitas kewarganegaraan atau ke-
Indonesiaan setiap warga negara, termasuk para pelaku politik dalam berbagai
latar. Dengan demikian prilaku politik dari para pelaku politik seperti anggota
dewan perwakilan rakyat, para pejabat negara dan organisasi non-pemerintah
secara substantif dan praksis menggambarkan karakter ke Indonesiaan, bukan
karakter komunitarian suku, agama, golongan dan partai politik. Di lain pihak,
political culture memberi kontribusi dalam membangun konteks sosial, politik,
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 9
ekonomi, dan kultural yang memungkinkan warga negara baik secara
perseorangan maupun kelompok mau dan mampu berpartisipasi secara cerdas
(intelligent) dan bertanggungjawab (responsible) dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Identitas pribadi warganegara yang bersumber dari civic culture perlu
dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuk dan
latar. Elemen civic culture yang paling sentral dan sangat perlu dikembangkan
adalah civic virtue. Yang dimaksud dengan civic virtue adalah …the willingness
of the citizen to set aside private interests and personal concerns for the sake of
the common good (Quigley, dkk,1991:11)- atau kemauan dari warganegara untuk
menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Civic virtue
merupakan domain psikososial individu yang secara substantif memiliki dua
unsur, yaitu civic dispositions dan civic commitments. Sebagaimana dirumuskan
oleh Quigley,dkk (1991:11) yang dimaksud dengan civic dispositions adalah
…those attitudes and habit of mind of the citizen that are conducive to the healthy
functioning and common good of the democratic system atau sikap dan kebiasaan
berpikir warganegara yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat
dan jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi. Sedangkan civic
committments adalah …the freely-given, reasoned committments of the citizen to
the fundamental values and principles of constitusional democracy atau
komitmen warganegara yang bernalar dan diterima dengan sadar terhadap nilai
dan prinsip demokrasi konstitusional. Kedua unsur dari civic virtue tersebut
diyakini akan mampu menjadikan proses politik berjalan secara efektif untuk
memajukan the common good atau kemaslahatan umum dan memberi kontribusi
terhadapperwujudan ide fundamental dari system politik termasuk …protection of
the rights of the individual” atau pelindungan hak-hak azasi manusia (Quigley,
dkk,1991:11) Proses politik yang berjalan dengan efektif untuk memajukan
kepentingan umum dan memberi kontribusi berarti terhadap perwujudan ide
fundamental dari sistem politik termasuk di dalamnya perlindungan terhadap
hak-hak individu itu adalah ciri kehidupan politik yang ditopang kuat oleh civic
culture.
Secara konseptual civic dispositions meliputi sejumlah karakteristik kepribadian,
yakni civility atau keadaban (hormat pada orang lain dan partisipatif dalam
kehidupan masyarakat), individual responsibility atau tanggung jawab individual,
self-discipline atau disiplin diri, civic-mindednes atau kepekaan terhadap masalah
kewargaan, open-mindedness (terbuka, skeptis, mengenal ambiguitas),
compromise (prinsip konflik dan batas-batas kompromi), toleration of diversity
atau toleransi atas keberagaman, patience and persistence atau kesabaran dan
ketaatan, compassion atau keterharuan , generosity atau kemurahan hati, and
loyalty to the nation and its priciples atau kesetiaan pada bangsa dan segala
aturannya. (Quigley,dkk,1991:13-14). Kesemua itu, yakni keadaban yang
mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggungjawab individual,
disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran yang
mencakup keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap kemenduaan, sikap
kompromi yang mencakup prinsip-prinsip konflik dan batas-batas kompromi,
toleransi pada keragaaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati,
dan kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya merupakan karakter intrinsik
dari sikap warganegara. Sedangkan civic commitments adalah kesediaan warga
negara untuk mengikatkan diri dengan sadar kepada ide dan prinsip serta nilai
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 10
fundamental demokrasi konstitusional, dalam hal ini di Amerika, yang
meliputi…popular souvereignty, constitutional government, the rule of law,
separation of powers, checks and balances, minority rights, civilian control of the
military, separation of church and state, power of the purse, federalism, common
good, individual rights (life, liberty: personal, political, economic, and the pursuit
of happiness), justice, equality (political, legal, social, economic), diversity, truth,
and patriotism. (Quigley, dkk,1991:14-16). Kesemua itu adalah kedaulatan
rakyat, pemerintahan konstitusional, prinsip negara hukum, pemisahan
kekuasaan, kontrol dan penyeimbangan, hak-hak minoritas, kontrol masyarakat
terhadap meliter, pemisahan negara dan agama, kekuasaan anggaran belanja,
federalisme, kepentingan umum, hak-hak individual yang mencakup hak hidup,
hak kebebasan (pribadi, politik, ekonomi,dan kebahagiaan), keadilan, persamaan
(dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi), kebhinekaan, kebenaran, dan
cinta tanah air. Tentu saja tidak semua hal tersebut berlaku untuk Indonesia.
Pengembangan dimensi civic virtue merupakan landasan bagi pengembangan civic
participation yang memang merupakan tujuan akhir dari civic education, atau
pendidikan Pancasila untuk Indonesia. Dimensi civic participation dikembangkan
dengan tujuan untuk memberikan …the knowledge and skills required to
participate effectively;…practical experience in participation designed to foster
among students a sense of competence and efficacy dan mengembangkan … an
understanding of the importance of citizen participation (Quigley, dkk, 1991:39),
yakni pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk berperanserta secara
efektif dalam masyarakat, pengalaman berperanserta yang dirancang untuk
memperkuat kesadaran berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan
mengembangkan pengertian tentang pentingnya peranserta aktif warganegara.
Untuk dapat berperan secara aktif tersebut diperlukan A knowledge of the
fundamental concepts, history, contemporary events, issues, and facts related to
the matter and the capacity to apply this knowledge to the situation; a disposition
to act in accord with the traits of civic characters; and a commitment to the
realization of the fundamental values and principles. (Quigley,dkk,1991:39).
Yang dimaksud dengan semua hal tersebut di muka adalah pengetahuan tentang
konsep fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang berkaitan
dengan subsantsi dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan itu secara
kontekstual, dan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan watak dari
warganegara, yang dalam konteks Indonesia harus ditempatkan dalam konteks
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Dalam Lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006 secara normatif dikemukakan
bahwa ”Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran
yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia
yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan
UUD 1945.” Sedangkan tujuannya, digariskan dengan dengan tegas, “adalah agar
peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta antikorupsi
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 11
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama
dengan bangsa-bangsa lainnya
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi.”
Sementara itu ditetapkan pula bahwa ”Kedalaman muatan kurikulum pada setiap
mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang
harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam
struktur kurikulum. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan.
Muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri merupakan bagian integral dari
struktur kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.”
Berdasarkan Permendiknas N0. 22 tahun 2006 Ruang lingkup mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan untuk pendidikan dasar dan menengah secara umum
meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan,
Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda,
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan
negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Keterbukaan dan jaminan keadilan
2. Norma, hukum, dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga,
Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan
daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim
hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional
3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban
anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan,
penghormatan dan perlindungan HAM
4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai
warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan
pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri , Persamaan kedudukan
warga negara
5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang
pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia,
Hubungan dasar negara dengan konstitusi
6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,
Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem
politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem
pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi
7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilainilai
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka
8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri
Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan
organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.”
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 12
Namun demikian perlu diberi catatan bahwa enumerasi ke 8 (delapan) substansi,
termasuk di dalamnya terdapat Pancasila, memberi kesan yang kuat bahwa
Pancasila belum menjadi core-nya PKn. Oleh karena itu sesungguhnya substansi
Pancasila harus menjadi core dari ke 7 (tujuh) butir substansi lainnya itu.
Proses pendidikan yang dituntut dan menjadi kepedulian PKn adalah proses
pendidikan yang terpadu utuh, yang juga disebut sebagai bentuk confluent
education (McNeil:1981). Tuntutan pedagogis ini memerlukan persiapan mental,
profesionalitas, dan hubungan sosial guru-murid yang kohesif. Guru seyogyanya
siap memberi contoh dan menjadi contoh. Ingatlah pada postulat bahwa Value is
neither tought now cought, it is learned (Herman 1966). Nilai tidak bisa diajarkan
atau pun ditangkap sendiri tetapi dicerna melalui proses belajar. Oleh karena itu
nilai harus termuat dalam materi pelajaran PKn.
PKn merupakan mata pelajaran dengan visi utama sebagai pendidikan demokrasi
yang bersifat multidimensional. Ia merupakan pendidikan nilai demokrasi,
pendidikan moral, pendidikan sosial, dan masalah pendidikan politik. Namun yang
paling menonjol adalah sebagai pendidikan nilai dan pendidikan moral. Oleh
karena itu secara singkat PKn dinilai sebagai mata pelajaran yang mengusung misi
pendidikan nilai dan moral. Alasannya antara lain sebagai berikut.
1. Materi PPKn adalah konsep-konsep nilai Pancasila dan UUD 45 beserta
dinamika perwujudan dalam kehidupan masyarakat negara Indonesia.
2. Sasaran belajar akhir PKn adalah perwujudan nilai-nilai tersebut dalam
perilaku nyata kehidupan sehari-hari.
3. Proses pembelajarannya menuntut terlibatnya emosional, intelektual, dan sosial
dari peserta didik dan guru sehingga nilai-nilai itu bukan hanya dipahami
(bersifat kognitif) tetapi dihayati (bersifat afektif) dan dilaksanakan (bersifat
perilaku).
Sebagai pengayaan teoritik, pendidikan nilai dan moral sebagaimana dicakup
dalam PKn tersebut, dalam pandangan Lickona (1992) disebut "educating for
character" atau "pendidikan watak". Lickona mengartikan watak atau karakter
sesuai dengan pandangan filosof Michael Novak (Lickona 1992 : 50-51), yakni
Compatible mix of all those virtues identified by religions traditions, literary
stories, the sages, and persons of common sense down through history. Artinya
suatu perpaduan yang harmonis dari berbagai kebajikan yang tertuang dalam
keagamaan, sastra, pandangan kaum cerdik-pandai dan manusia pada umumnya
sepanjang zaman. Oleh karena itu Lichona (1992, 51) memandang karakter atau
watak itu memiliki tiga unsur yang saling berkaitan yakni moral knowing, moral
feeling, and moral behavior atau konsep moral, rasa dan sikap moral dan perilaku
moral. Bila buah pemikiran Lickona (1992) tersebut kita kaitkan dengan
karakteristik PKn SD, nampaknya kita dapat menggunakan model Lickona itu
sebagai kerangka pikir dalam melihat sasaran belajar dan isi PKn. Setiap nilai
Pancasila yang telah dirumuskan sebagai butir materi PKn pada dasarnya harus
memiliki aspek konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral.
Contohnya, untuk menanamkan nilai kejujuran dalam pembelajaran PKn harus
menyentuh ketiga aspek seperti berikut:
Konsep Moral
1. Kesadaran perlunya kejujuran
2. Pemahaman tentang kejujuran
3. Manfaat kejujuran di masa depan
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 13
4. Alasan perlunya kejujuran
5. Bagaimana cara menerapkan kejujuran
6. Penilaian diri sendiri mengenai kejujuran
Sikap Moral
1. Kata hati kita tentang kejujuran
2. Rasa percaya diri kita untuk senantiasa berlaku jujur pada orang lain
3. Empati kita terhadap orang yang jujur
4. Cinta kita terhadap kejujuran
5. Pengendalian diri kita untuk selalu berlaku jujur
6. Rasa hormat kita kepada orang lain yang berlaku jujur
Perilaku Moral
1. Kemampuan bersikap dan berlaku jujur
2. Kemauan untuk senantiasa berusaha jujur
3. Kebiasaan untuk selalu bersikap dan berbuat jujur
Dari pembahasan kita mengenai PKn sebagai pendidikan nilai dan moral dikaitkan
dengan konsep pendidikan watak kiranya kita dapat mencatat hal-hal sebagai
berikut:
1. PKn sebagai mata pelajaran yang memiliki aspek utama sebagai pendidikan
nilai dan moral pada akhirnya akan bermuara pada pengembangan watak atau
karakter peserta didik sesuai dengan dan merujuk kepada nilai-nilai dan moral
Pancasila.
2. Nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 dapat dikembangkan dalam diri peserta
didik melalui pengembangan konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral
setiap rumusan butir nilai yang telah dipilih sebagai materi PPKn.
Oleh karena itu bagi pendidikan di Indonesia PKn merupakan program
pembelajaran nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 yang bermuara pada
terbentuknya watak Pancasila dan UUD 45 dalam diri perserta didik. Watak ini
pembentukannya harus dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi keterpaduan
konsep moral, sikap moral dan perilaku moral Pancasila dan UUD 45. Dengan
demikian pula kita dapat menegaskan kembali bahwa PKn merupakan suatu
bentuk mata pelajaran yang mencerminkan konsep, strategi, dan nuansa confluent
education. Pendidikan yang memusatkan perhatian pada pengembangan manusia
Indonesia seutuhnya.
B. Kebijakan Kurikulum PKn untuk Masa Depan
Ada beberapa asumsi normatif dan asumsi positif mengenai PKn masa depan, sebagai
berikut.
1. Bahwa Pembukaan UUD 1945, tidak akan berubah karena diterima sebagai inti
komitmen nasional kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final ketatanegaran RI,
sebagaimana hal itu menjadi komitmen MPR.
2. Bahwa tatanan kehidupan demokrasi Indonesia pada dasarnya merupakan
sistem kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang bersumber dari dasar
negara Pancasila sebagaimana tersurat pada alinea keempat Pembukaan UUD
1945.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 14
3. Bahwa pembangunan demokrasi konstitusional Indonesia mengandung missi
pembangunan ide, nilai, prinsip dan konsep demokrasi melalui instrumentasi
demokrasi dalam berbagai latar kehidupan dan pendidikan demokrasi untuk
generasi muda sebagai pewaris bangsa di masa depan yang berdasarkan konstitusi.
Demokrasi konstitusional dapat diartikan sebagai demokrasi yang berlandaskan
pada prinsip negara hukum, yang di dalamnya terkandung kehidupan berdasar pada
rule of law yang memberikan implikasi pada pentingnya pendidikan
kewarganegaraan untuk menumbuhkan kesadaran hukum warga negara.
4. Bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana psiko-pedagogis
pada domain kurikuler, sosio-andragogis pada domain sosial-kultural, dan
epistemologis pada domain akademik, dalam pendidikan demokrasi konstitusional
Indonesia.
5. Bahwa sebagai wahana pendidikan demokrasi, pendidikan kewarganegaraan
berfungsi mewujudkan kesatuan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang
koheren dari konsepsi pendidikan tentang demokrasi, pendidikan melalui
demokrasi, pendidikan untuk membangun demokrasi.
6. Bahwa pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum
pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi, memiliki fungsi sebagai
pendidikan untuk membangun karakter bangsa, yang secara substansial
dirancang secara nasional, dan diwujudkan sebagai praksis pendidikan yang
konsisten dan koheren dengan komitmen kebangsaan Indonesia pada tingkat satuan
pendidikan.
7. Bahwa pendidikan untuk kewarganegaraan Indonesia yang demokratis yang
menjadi missi PKn, tidak bersifat chauvinistik, melainkan berwawasan kosmopolit
guna menghasilkan warganegara Indonesia yang baik, cerdas, partisipatif,
dan bertanggung jawab sekaligus menjadi warga dunia yang toleran.
Bertolak dari ke 7 asumsi tersebut, ada beberapa substansi kebijakan nasional tentang
Kurikulum PKn Masa depan sebagai berikut.
1. Sebagai sumber ide dan norma inti dari PKn, perlu kajian mendalam terhadap
ide dan nilai yang secara substantif terkandung dalam Pembukaan UUD
1945, dalam konteks historis dan sosio-politis tumbuh dan berkembangnya
komitmen nasional kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final
ketatanegaran RI.
2. Sebagai instrumentasi dari ide dan norma inti Pancasila dan UUD 1945, perlu
kajian mendalam secara komprehensif terhadap tatanan kehidupan demokrasi
Indonesia sebagai sistem kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang
bersumber dari dasar negara Pancasila dan UUD 1945.
3. Dalam rangka pembangunan demokrasi konstitusional Indonesia yang
mengandung missi pembangunan ide, nilai, prinsip dan konsep demokrasi
Pancasila, perlu kajian mendalam secara komprehensif terhadap visi dan missi
nasional dari instrumentasi demokrasi dalam berbagai latar kehidupan dan aras
pendidikan demokrasi untuk generasi muda sebagai pewaris bangsa di masa depan.
4. Diperlukan reposisi, rekonseptualisasi, dan reaktualisasi pendidikan
kewarganegaraan sebagai wahana: psiko-pedagogis pada domain kurikuler,
sosio-andragogis pada domain sosial-kultural, dan epistemologis pada domain
akademik dalam pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia agar lebih
efektif dan mampu diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat sesuai
tuntutan zaman.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 15
5. Pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan demokrasi, perlu
difungsikan sebagai wahana pendidikan yang mampu mewujudkan kesatuan pola
pikir, pola sikap, dan pola tindak semua unsur bangsa Indonesia secara koheren
dengan konsepsi pendidikan tentang demokrasi, pendidikan melalui
demokrasi, pendidikan untuk membangun demokrasi.
6. Pendidikan kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan
dasar dan menengah serta pendidikan tinggi, perlu dirancang secara sistematis
dan sistemik untuk membangun karakter bangsa, yang secara substansialnasional
dapat diwujudkan sebagai praksis pendidikan yang konsisten dan koheren
dengan komitmen kebangsaan Indonesia pada tingkat satuan pendidikan.
7. Perlu dilakukan antisipasi yang komprehensif agar pendidikan untuk
kewarganegaraan Indonesia yang demokratis melalui PKn, tidak bersifat
chauvinistik, melainkan berwawasan kosmopolit dalam menghasilkan
warganegara Indonesia yang baik, cerdas, partisipatif, dan
bertanggungjawab dan sekaligus menjadi warga dunia yang toleran.
Ke 7 (tujuh) substansi kebijakan kurikulum tersebut merupakan kebijakan dasar yang
diharapkan menghasilkan pemikiran komprehensif tentang pendidikan demokrasi
konstitusional Indonesia untuk berbagai domain, yang dapat memberi masukan yang
secara akademik valid, secara sosio-politis dan sosiokultural akseptabel, dan secara
psiko-pedagogis dan sosio-andragogis layak bagi pengembangan dan perwujudan
pendidikan kewarganegaraan Indonesia.
Elemen pendidikan kewarganegaraan yang memerlukan reposisi, rekonseptualisasi,
dan reaktualisasi untuk masa depan, antara lain:
1. Grand design pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan demokrasi
konstitusional Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
2. Kerangka sistemik kompetensi kewarganegaraan lulusan pada berbagai jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan;
3. Kerangka sistemik isi pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan;
4. Kerangka sistemik proses pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan;
5. Kerangka sistemik asesmen dalam pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;
6. Kerangka sistemik dan programatik pendidikan dan pelatihan guru/tutor
pendidikan kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan;
7. Kerangka akademik penelitian dan pengembangan pendidikan
kewarganegaraan untuk berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 16
BAB III
TEMUAN KAJIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Responden
Kajian ini dilakukan baik terhadap dokumen maupun pelaksanaan Standar Isi dalam
kegiatan pembelajaran. Untuk mengkaji dokumen dan pelaksanaannya telah
dihadirkan beberapa responden sebagai pengkaji. Responden yang dimaksud berasal
dari berbagai wilayah Indonesia yang terdiri atas:
1) akademisi, yaitu dosen perguruan tinggi, dan
2) praktisi yang berkait langsung dengan pembelajaran PKn, yaitu guru-guru yang
berasal dari SD, SMP dan SMA dari beberapa wilayah Indonesia.
Kepada seluruh responden ini diberikan instrumen analisis dokumen dan pelaksanaan
Stándar Isi yang hasilnya terlihat pada paparan berikut.
B. Deskripsi Hasil Kajian Dokumen Standar Isi PKn
Kajian dokumen dilakukan baik oleh akademisi maupun praktisi. Hasil kajian
dikelompokkan ke dalam satuan pendidikan SD, SMP dan SMA yang rangkumannya
seperti terlihat pada tabel dan uraian di bawah ini.
1. Hasil Kajian Dokumen Tahap Pertama
Dokumen Standar Isi PKn SD/MI
Untuk kajian dokumen Standar Isi PKn SD diperoleh beberapa temuan sebagai
berikut:
Kelas I
1) KD 1.1 yang rumusannya adalah ”Menjelaskan perbedaan jenis kelamin,
agama, dan suku bangsa”, dinilai memiliki kemiripan materi dengan materi IPS.
2) KD 4.2 yang rumusannya ”Melaksanakan aturan yang berlaku di masyarakat”
terdapat juga pada kelas 3 (KD 2.3)
3) SK 4, hanya terbatas pada lingkup rumah dan sekolah, sedangkan pada KD 4.2
kompetensi yang dituntut sudah sampai pada lingkup masyarakat, bukan hanya
keluarga dan sekolah
Kelas II
KD 3.3 Menampilkan sikap mau menerima kekalahan. KD ini terasa agak berat
untuk dilaksanakan di kelas 2
Kelas III
1) KD 2.3 Melaksanakan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan masyarakat
* KD ini sama dengan KD 4.2 di kelas I semester 2
2) Susunan KD 3.1; 3.2 dan 3.3 tidak runtut
3) KD 3.3 Menampilkan perilaku yang mencerminkan harga diri
* KD ini sulit terukur pada proses belajar
Kelas IV
1) KD 3.1 Mengenal lembaga negara dalam susunan pemerintah tingkat pusat
seperti MPR, DPR, Presiden, MA, MK dan BPK
Kata kerja operasional ”mengenal” mengarah pada muatan materi yang terlalu
tinggi sehingga sulit diserap oleh siswa
2) KD 3.3 (Susunan KD dianggap tidak runtut)
- memberi contoh pengaruh globalisasi
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 17
- Jenis budaya Indonesia yang pernah ditampilkan dalam misi kebudayaan
Internasional
- Menentukan sikap terhadap pengaruh globalisasi
3) SK 4: Menunjukkan sikap terhadap Globalisasi di lingkungan
Muatan materinya mirip dengan muatan materi yang terdapat pada mata
pelajaran IPS kelas IV (perkembangan teknologi produksi, komunikasi dan
trasnportasi)
4) Penulisan SK mengenal sistem pemerintahan tingkat pusat di kelas IV
redanden dengan SK kelas VI smt 1
5) Materi globalisasi terlalu dini dimasukan di kelas IV
Kelas V dan Kelas VI
Untuk krelas V dan VI pada kajian tahap I dipandang tidak ada masalah
Dokumen Standar Isi PKn SMP/MTs
Kelas VII
Materi sangat berat seperti:
a). KD 2.2. Mendeskripsikan suasana kebatinan konstitusi pertama.
Istilah semacam ini masih sangat awam bagi siswa kelas VII, apalagi mereka
dituntut untuk menganalisa proses terbentuknya konstitusi pertama. Sebaiknya
istilah suasana kebatinan dihilangkan saja atau dicarikan istilah yang mudah
dipahami (familier).Kira-kira KD tersebut berubah menjadi “ Mendiskripsikan
proses terbentuknya konstitusi pertama”.
b). KD 2.3.: Menganalisis hubungan proklamasi dengan UUD 1945
Materi ini masih sangat berat untuk konsumsi Kelas VII, karena anak Kelas VII
merupakan transisi dari SD ke SMP sehingga sangat berat dituntut
menganalisis hubungan Pancasila dengan UUD 1945. Kalau memang harus
diajarkan di Kelas VII. Sebaiknya bobot Kompetensi diturunkan dari
“ Menganalisis menjadi “Mengidentifikasi” saja, sehingga KD tersebut
berubah menjadi “ Mengidentifikasi hubungan proklamasi dengan UUD 1945”
c). KD 3.3.: Menghargai upaya perlindungan HAM.
Siswa Kelas VII terasa berat dalam membuat persepsi dari kata menghargai
upaya perlindungan HAM. Kata menghargai sebaiknya diganti dengan
mengidentifikasi karena sulit diukur, sehingga KD berubah menjadi:
“Mengidentifikasi upaya-upaya perlindungan HAM”.
d). KD 3.1. Menguraikan hakikat, hukum dan kelembagaan HAM.
Kata menguraikan terlalu dalam maknanya. Kata ”menguraikan” sebaiknya
diganti dengan mendiskripsikan, sehingga KD-nya menjadi “Mendiskripsikan
hakikat hukum dan kelembagaan HAM”
Kelas VIII
Materi berat
a). KD. 1.1. Menjelaskan Pancasila sebagai dasar negara dan deologi negara
Terdapat pengertian/ perintah ganda dalam satu KD.
b). KD. 1.2. Menguraikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi negara
Terdapat pengertian ganda dalam satu KD
c). KD. 2.2. Menganalisis penyimpangan penyimpangan terhadap konstitusi yang
berlaku di Indonesia
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 18
Kelas IX
Materi kurang sesuai:
a). K.D. 1.1.Menjelaskan pentingnya pembelaan negara.
Menjelaskan kurang mewakili kedalaman materi yang diharapkan
b). KD. 3.1. Menjelaskan pengertian dan pentingnya globalisasi bagi Indonesia
Ada dualisme dalam satu masalah
Dokumen Standar Isi PKn SMA/MA
Kelas X - XII
1. Materi terlalu luas:
a). Materi Kelas X Semester 2 K.D 6: Mendeskripsikan perbedaan sistem
politik di berbagai negara. Karena berbagai negara terlalu banyak, jika jika
tidak ada batasan justru tujuan mendiskripsikan menjadi kabur.
b). Materi Kelas XII Sm 1 K.D. 2:
2.1 Menganalisis sistem pemerintahan di berbagai negara.
Karena berbagai negara terlalu banyak, jika jika tidak ada batasan
justru tujuan menganalisis menjadi kabur).
2.3 Membandingkan pelaksanaan sistem pemerintahan yang berlaku di
Indonesia dengan negara lain. (materi ini terlalu luas karena tidak
jelas Indonesia saat kapan dan dengan negara mana)
2. Tumpang tindih materi:
a) Materi kelas X semester 2 : (Menganalisis sistem politik di Indonesia)
Dengan materi kelas XI sem 1: (Menganalisis budaya politik di Indonesia).
Budaya politik dan sistem politik adalah dua hal yang sulit untuk
dipisahkan. Jadi kalau dibahas dalam bab yang berbeda akhirnya jika
membahas sitem politik akan membahas budaya politik dan demikian
sebaliknya.
b). Materi kelas XI Sm. 1. Kd. 1.1 dan 1.2. Tentang Tipe dan macam budaya
politik.
c). Materi kelas X (Hubungan dasar negara dan Konstitusi) dengan Materi XII
(Menampilkan sikap positif terhadap Pancasila sebagai ideologi terbuka)
d). Materi Kl. X Sem 1 KD. 3.3 (mendiskripsikan instrumen hukum dan
peradilan internasional HAM)
Dengan materi kls XI sm 2. KD. 5.2. (Menjelaskan penyebab timbulnya
sengketa internasional dan cara penyelesaian oleh Mahkamah
Internasional). Masalah internasional tidak dapat dipisahlan dari
pelanggaran HAM.
e) Materi Kelas XI Sm 1 . KD 2.3 (Menganalisis pelaksanaan Demokrasi di
Indonesia sejak orde lama, orde baru, dan reformasi) dengan materi kls XII
Sm 1 KD. 2 .2 “Menganalisis pelaksanaan sistem pemerintahan negara
Indonesia”. Pelaksanaan Demokrasi tidak terlepas dari sistem pemerintahan
yang diterapkan suatu negara.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 19
2. Hasil Kajian Dokumen Tahap Kedua
Dokumen Standar Isi PKn SD/MI
Kelas I
SK 1 / I KD 1.1,1.2,1.3 dan SK 2/ I KD 2.1, 2.2 tidak untuk diajarkan pada
semester 1 melainkan di semester 2 dengan menggabungkan SK 1 dan 2 menjadi 1
SK. SK 3 /I KD 3.1,3.2 dan SK 4/I KD 4.1,4.1 tidak dipisahkan melainkan
satukesatuan, sehingga SK 3 dan 4 dapat digabung menjadi 1 SK dan diberikan di
kelas 2 di semester 1
Kelas II
Nilai keutamaan pada SK 1 /II KD 1.1,12 sebaiknya digabungkan dengan nilai
keutamaan Musyawarah (sikap demokratis) dan diberikan dikelas III. SK 2/II KD
2.1.2.2 harus ditanamkan sejak dini bukan dikelas dua melainkan di kelas 1 pada
semester 2. SK 3/II KD 3.1,3.2,3.3 tidak terpisah-pisah melainkan tergabung
dengan nilai keutamaan yang lain seperti gotong royong diajarkan di kelas III.
Materi pada SK 4 /II KD 4.1, 4.2 harus diberikan dengan konsep sederhana yang
dapat dipahami dan sesuai konten siswa itu sendiri.
Kelas III
Materi dari SK 1/III , SK 3/III dan SK4/III beserta KD nya sebaiknya digabung
agar bermakna, karena merupakan satu kesatuan antara sejarah dengan kebanggaan
yang harus dimiliki siswa. Penanaman konsep pada SK 2/III beserta KD nya harus
dimulai dari yang paling sederhana yang ada disekitar kehidupan peserta didik.
Untuk memahami konsep pada SK 4 / III, beserta KD nya dibutuhkan penalaran
dan pemahan yang luas, oleh karena itu sebaiknya diberikan di kelas VI
Kelas V
SK 3/V dan SK 4/V, beserta Kdnya sebaiknya dirumuskan dalam satu SK agar
utuh dalam mememahami kosepnya.
Dokumen Standar Isi PKn SMP/MTs
Kelas VII
Materi pada SK 1 / VII beserta KD nya sebaiknya diberikan setelah penjelasan SK
2 / VII agar lebih sistematis dalam memahami konsep bernegara yang dimulai dari
Proklamasi. Materi pada SK 1 / VII beserta KD nya diberikan diawal siswa duduk
dibangku SMP di semster 1. SK 3 dan SK 4 / VII beserta KD nya sebaiknya di
gabung, karena merupakan bagian dari HAM agar utuh dalam memehami konsep
HAM.
Kelas VIII
SK 2 dan 3 / VIII, beserta Kdnya sebainya digabung menjadi satu, agar utuh
pemahaman terhadap konsep aturan tersebut, Sebaiknya konsep dari SK 4 dan SK
5 / VIII beserta KD nya dijadikan satu khusus mengenai Sistem pemerintahan
Indonesia digabung dengan Otonomi dan diberikan di kelas IX
Kelas IX
SK 1 / IX beserta KD nya sebaiknya diberikan disemsester 2 Kelas VIII
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 20
Dokumen Standar Isi PKn SMA/MA
Kelas X
KD-KD yang terdapat dalam SK SK 1 / X perlu direvisi dan dibuat sistematis dengan
menambah beberapa materi dan konsep baik tentang Bangsa maupun tentang negara.
Rumusan SK 2 / X beserta KD nya perlu direvisi dan rumusan KD juga perlu dirubah
dengan menamabah konsep tentang hukum dan peradilan. Rumusan SK 3 / X beserta
KD nya perlu direvisi dan rumamusan KD juga perlu perubah dengan menamabah
konsep tentang HAM dan diberikan disemester 2. SK 4 / X sebaiknya diberikan di
semester satu sesudah SK 1, untuk memudahkan pemahaman bagi peserta didik, perlu
juga ditambahkan konsep tentang idiologi negara. SK SK 5 / X beserta KD nya
sebaiknya diberikan di semester 2 kelas X sesudah materi HAM dan sebaiknya diberi
tambahan konsep tentang keberagaman atau pliralisme di Indonesia. Sebaiknya konsep
dari SK 6 / X beserta KD nya dan SK 1 / XI beserta KD nya dijadikan satu dengan SK
1 / XI tentang Budaya politik dan diadakan perubahan rumusan serta penambahan
konset tentang politik dan diberikan di kelas XI semester 1.
Kelas XI
SK 2 dan 3 / XI beserta KD nya sebaiknya digabung jadi satu untuk memudahakan
pemahaman dan penjabaran demokrasi menuju masyarakat madani. Rumusan SK SK 4
/ XI beserta KD nya perlu diadakan perubahan dan ditambahkan materi tentang politik
luar negeri Indonesia bebas dan aktif. SK 5 / XI perlu dirumuskan lebih jelas tentang
konsepnya baik pada SK maupun KD nya dan perlu perombakan KD nya.
C. Kajian Pelaksanaan
Kajian pelaksanaan ini mencakup implementasi Standar Isi ke dalam pengembangan
silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dan pelaksanaan dalam kegiatan
pembelajaran. Untuk hal ini tidak ada masalah yang ditemukan dalam pelaksanaan
Stándar Isi untuk satuan pendidikan SD dan SMP. Temuan yang diperoleh hanya pada
satuan SMA dan ini pun tidak hanya terkait dengan Stándar Isi, melainkan pula dengan
hal-hal lain seperti UAN.
Deskripsi temuan tentang pelaksanaan Stándar Isi pada satuan pendidikan SMA dapat
dilihat pada uraikan berikut.
1. Penyusunan Program Pembelajaran
a. Silabus
1). Dalam penyusunan silabus ada kesulitan dalam mencari materi karena
pengembanganya terlalu luas, seperti peradilan internasional,
perkembangan pers di Indonesia, dan subtansi konstitusi negara
2). Selain itu terdapat materi yang pengembangannya terlalu beranekaragam,
sementara masih ada ulangan umum bersama di tingkat kabupaten maupun
Propinsi, seperti budaya politik, budaya Demokrasi, pokok pikiran
Pembukaan UUD 1945, dan tipe dan macam budaya politik
b. RPP
1) Sangat dipengaruhi adanya sarana penunjang media, sumber buku yang ada
di sekolah kemampuan guru dalam mengembangkan metode dan media.
2) Sarana dan prasarana untuk pengembangan RPP yang baik, kurang
mendapat perhatian dari sekolah, karena PKn sekarang tidak di-UN-kan
lagi dan menjadi pelajaran anak tiri di sekolah, sehingga sarana dan
prasarana untuk pembelajaran ini juga terbatas.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 21
2. Pelaksanaan KBM/Pembelajaran
a) Jumlah Jam Pelajaran PKn. Untuk mencapai tuntutan KTSP yang
mengutamakan proses disamping hasil. Materi PKn yang begitu padat tidak
cukup jika hanya dialokasikan waktu 2 JP. Sebab jika dicermati materi PKn
merupakan gabungan PPkn dan Tata Negara. Jam PPKn dulu 2 JP dan Tata
Negara 6 JP. Jadi ya bagaimana dapat mengutamakan proses seperti tuntutan
dalam KTSP kalau materi yang dulunya diajarkan 8 JP menjadi 2 JP saja.
b). Penilaian Afektif perlu dipertimbangkan apakah mampu seorang guru dalam
melakukan kegiatan mendidik, mengajar sekaligus melakukan penilaiann
afektif bagi 30 lebih siswanya.
3. Lain - Lain
a). Penilaian :
SKL PKn sama sekali tidak mengujikan materi kelas XII. Hal ini sangat ironis,
sebab justru siswa diuji kelulusannya dengan materi kelas X dan XI, sedang
yang dipelajari selama satu tahun dikelas XII sama sekali tidak menjadi faktor
penentu kelulusan.
b). UN PKn:
Suatu dilema dalam dunia pendidikan Indonesia. Kenyataan yang terjadi di
lapangan, jika masih ada pelajaran yang menjadi penentu kelulusan lewat UN,
kemudian dijadikan dasar memvonis sekolah sukses atau tidak dari UN 3
mapel. Tidak ada satu sekolah pun yang mau dikatagorikan sekolah yang gagal.
Sehingga 3 mapel yang diunaskan tersebut bagai anak emas yang jamnya
banyak, selalu ada les hanya untuk 3 mapel tsb, bahkan beberapa minggu
menjelang UN pelajarannya hanya 3 mapel tadi. Bagaimana nasib pelajaran
yang lain? Kita harus memilih, hidup penuh pilihan, KTSP atau UNAS? Proses
atau Hasil?. Atau keduanya?
D. Ringkasan Temuan Kajian Dokumen dan Lapangan
1. Kajian Dokumen
a. Komposisi SK-KD tiap semester
Berkait dengan beban belajar, maka komposisi jumlah SK dan KD untuk
tiap semester baik untuk SD, SMP maupun SMA dinilai cukup memadai.
Tiap semester hanya terdiri atas 2 atau 3 SK dan tiap SK umumnya terdiri
atas 2 sampai 3 KD pada jenjang SD; 2 sampai 4 KD pada SMP, kecuali
pada SK tentang ketaatan pada peraturan perundangan yang teridiri atas 5
KD, dan untuk SMA terdiri atas 3 hingga 5 KD untuk setiap SK.
b. Komposisi KD berdasarkan ranah kompetensi PKn: civic knowledge
(kognitif=pengetahuan), civic disposition (afektif=nilai dan sikap), civic
skill/ participation (psikomotorik=perilaku).
Berdasarkan ranah kompetensi terdapat ketidakseimbangan ranah
kompetensi PKn sebagai muatan KD untuk tiap-tiap SK baik di SD, SMP,
maupun SMA. Pada tiga jenis pendidikan ini aspek sikap dan perilaku yang
menjadi ”stressing” PKn proporsinya relatif lebih sedikit bila dibandingkan
dengan ranah pengetahuan. Untuk SD dari 57 KD, hanya 4 (7,02%) KD
yang termasuk ranah afeksi dan 16 (28,07%) KD yang termasuk ranah
perilaku, sementara yang termasuk ranah pengetahuan 37 (64,91%) KD.
Untuk SMP hanya 9 (19,56%) KD yang memuat kandungan afeksi dan 5
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 22
(10,87%) KD perilaku, sementara yang memuat pengetahuan 32 (69,56%)
KD. Dan, untuk SMA hanya 7 (12,96%) KD yang termasuk afektif dan 7
(12,96%) KD termasuk perilaku, sementara untuk pengetahuan 109
(69,43%) KD termasuk pengetahuan. Dengan demikian secara keseluruhan
hanya 12 % KD yang memuat aspek sikap dan 20,17% aspek perilaku,
sedangkan yang memuat aspek pengetahuan 69,43 %. Ini berarti tidak
konsisten dengan misi suci PKn yang bertujuan membentuk watak warga
negara.
c. Tumpang tindih/Overlap antar KD/SK pada kelas yang berbeda atau
dengan mata pelajaran lain.
Temuan yang cukup banyak dalam kajian ini adalah adanya atau ”anggapan
ada” tumpang tindih atau overlap antara satu SK dengan SK lain atau
antara satu KD dengan KD lain pada jenjang atau kelas yang berbeda. Pada
SD, misalnya KD 4.2 Kelas I dengan KD 2.4 Kelas III. Untuk SMP
misalnya SK 3 dan 4 Kelas VII, sehingga disarankan untuk digabung.
Untuk SMA misalnya KD 2.3 Kelas XI dengan KD 2.2 Kelas XII dan KD
3.3 Kelas X dengan KD 5.2 Kelas XI. Selain itu ada juga yang dianggap
mirip dengan mata pelajaran IPS yaitu KD 1.1 Kelas I tentang identitas diri,
dan SK 4 Kelas IV tentang dampak globalisasi. Meski demikian hal ini
harus dikaji lebih matang, tetapi tetap harus menjadi perhatian.
d. Cakupan KD yang lebih luas dari SK
Ada cakupan KD yang lebih luas dari SK. Dalam SK 4 Kelas I tuntutannya
hanya sampai lingkup keluarga dan sekolah, tetapi pada KD 4.2 sudah
sampai lingkup masyarakat. Cakupan hingga masyarakat ini ternyata sama
dengan KD 2.3 kelas III tentang ”mentaati aturan yang berlaku di
masyarakat”. Hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan dalam penjabaran
konten SK ke dalam KD. Karena KD bersifat minimal, maka
penjabarannya sebaiknya tidak melewati SK.
e. Ketidakruntutan pendekatan berpikir dalam rumusan KD
Adanya anggapan ketidakruntutan pendekatan berpikir pada KD jenjang
SD, yaitu KD 3.1, 3.2, dan 3.3 Kelas III; dan KD 4.3 yang terhalang oleh
KD 4.2 pada Kelas IV. Untuk jenjang SD disarankan lebih menggunakan
logika induktif dengan memberikan contoh-contoh konkrit, baru kemudian
menjelaskan konsepnya. Jangan konsepnya terlebih dahulu, baru contohcontohnya.
f. Kebenaran konsep pada rumusan KD
Ditemukan adanya istilah yang tidak benar secara konsep keilmuan, yaitu
penggunaan istilah bentuk-bentuk kenegaraan pada KD 1.2 Kelas X SMA.
Dalam konteks ilmu negara tidak ada istilah bentuk-bentuk kenegaraan,
yang ada ialah bentuk-bentuk negara yang sering dibahas secara bersama
dengan bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan.
g. Kedalaman/keluasan konsep pada masing-masing KD
Ada rumusan KD yang dianggap terlalu berat atau terlalu untuk ukuran
siswa, baik untuk SD, SMP maupun SMA. Untuk SD misalnya KD 3.3
Kelas II, KD 3.3 Kelas III, KD 3.1 Kelas IV, SMP misalnya KD 2.2, 2.3,
3.3 Kelas VII, dan SMA misalnya KD 6.2 Kelas IX dan KD 2.1 Kelas XII.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 23
2. Kajian Pelaksanaan :
a. Pemahaman guru terhadap rumusan SK-KD
Pemahaman guru terhadap SK-KD sangat beragamam, karena latar belakang
pendidikan, daerah, kapasitas, dan kompetensi yang juga sangat beragam.
Sehingga terkadang mengalami kesulitan untuk memahami dan memaknai SKKD
dalam implementasi pembelajaran. Kebiasaan guru yang ”taken for
granted” dari pusat memperlemah krativitas dan inovasi mereka dalam
mengembangkan pembelajaran. Contoh yang paling konkrit adalah kesulitan
dalam memahami dan memaknai ”suasana kebatinan konstitusi pertama” yang
berimplikasi pada keengganan menjabarkan lebih lanjut dalam proses
pembelajaran.
b. Pengembangan SI PKn ke dalam Silabus dan RPP
Ada sebagian kecil kesulitan dalam pengembangan silabus khususnya untuk
materi: Peradilan Internasional; Perkembangan Pers di Indonesia; Subtansi
konstitusi negara, karena dianggap terlalu luas dan materi Pengertian Budaya
politik; Pengertian budaya Demokrasi; Pokok Pikiran Pembukaan UUD 1945;
Tipe dan macam budaya politik karena pengembangannya dianggap terlalu
beragam.
Dalam pengembangan RPP pada umumnya tidak mengalami masalah, namun
kualitasnya sangat tergantung pada dukungan sarana penunjang seperti bukubuku,
media, atau daya dukung lainnya.
c. Jumlah jam pelajaran
Ada yang beranggapan bahwa PKn sekarang adalah gabungan PPKn dan Tata
Negara yang jumlah jam keseluruhannya adalah 8 jam. Sehingga untuk proses
pembelajaran yang efektif tidak cukup hanya dengan 2 jam pelajaran.
Ekuivalensi demikian sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena cakupan SK
yang hanya 2 atau 3 dalam satu semester bisa disiasati agar prosesnya bisa
lebih efektif.
d. Dukungan masyarakat terhadap proses pembelajaran PKn
Yang menjadi kendala di lapangan adalah kurangnya dukungan lembaga atau
masyarakat di daerah saat dilakukan pembelajaran PKn dengan menerapkan
model pembelajaran Praktek Kewarganegaraan yang menekankan aspek
outsourcing dalam menggali informasi.
e. Penilaian Pencapaian Kompetensi
Penilaian yang tidak komprehensif, padahal tuntutan penilaian PKn mencakup
aspek pengetahun, sikap, dan perilaku sekaligus. Namun di sisi lain, banyak
guru yang tidak mengerti bagaimana menilai aspek afektif, bagaimana
mengembangkan instrumen pengukurnya dan bagaimana menetapkan bobot
nilainya. Sehingga hal ini perlu panduan khusus untuk matapelajaran yang
menekankan aspek sikap dan perilaku dalam standar kompetensi lulusannya.
Dengan kata lain UN PKn menjadi tidak relevan atau paling tidak tidak
mendesak, maski ada keluhan mengenai pengabaian siswa terhadap mata
pelajaran PKn karena tidak di-UN-kan..
E. Pembahasan Temuan Kajian Dokumen dan Lapangan
Pembahasan terhadap temuan, baik terhadap dokumen maupun terhadap
pelaksanaan Standar Isi dapat dilihat pada uraian berikut.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 24
1. Kemiripan rumusan, sebenarnya tidak terlalu masalah, yang penting adalah
penekanan pada misi masing-masing mata pelajaran (Konteks PKn adalah
kerukunan, sedang IPS adalah pengenalan identitas diri dan saling
menghormati dalam keragaman). Apalagi pembelajaran di SD sifatnya tematik,
sehingga kedekatan tema kompetensi sangat membantu dalam menganalisis
kurikulum, khususnya untuk membuat silabus yang berbentuk ”web”.
2. KD 4.2 kelas I SD memang melewati lingkup SK yang hanya memuat rumah
dan sekolah. Jadi KD ini cukup pada lokus sekolah dan KD 4.1 cukup pada
lokus rumah, karena mereka baru kelas 1. Namun demikian, jika rumusan KD
tetap, maka untuk kelas 1 penekanan pada aturan hukum yang berlaku di
masyarakat yang sifatnya lebih kongkrit. Sedangkan di kelas 3, mencakup
semua aspek norma yang ada di masyarakat. Jadi yang membedakan adalah
cakupan aturan dan norma yang diajarkan pada siswa.
3. KD Menampilkan sikap mau menerima kekalahan bisa diterapkan dengan
contoh perilaku nyata. Karena anak kita saja sudah menunjukkan sikap tidak
mau mengalah. Jadi tidak dengan penjelaskan konsep, melainkan dengan
contoh kongkrit.
4. Keruntutan sangat bergantung strategi penyajian: deduktif atau induktif. Jika
mau induktif maka susunan yang disarankan sangat baik.
5. Sebuah Kompetensi Dasar adalah hal yang menjadi tujuan yang akan dicapai,
dengan tingkat keterbacaan yang mudah maka keberhasilan untuk mencapainya
akan mudah, maka kalimat yang digunakan adalah kalimat yang mudah
dipahami oleh guru dan siswa
6. Sesuai dengan perkembangan peserta didik kelas VII, KD 2.3. harus
mengalami perubahan menjadi “ Mengidentifikasi hubungan proklamasi
kemerdekaan dan UUD 1945” dan apabila tetap dengan KD awal menganalisis
hubungan Proklamasi kemerdekaan dengan UUD 1945. maka guru harus
memberikan batasan analisa yang dilakukan siswa yang tergambar secara jelas
dalam Indikator.
7. Makna yang sesungguhnya ingin dicapai dari KD ”Menguraikan hakikat,
hukum dan kelembagaan HAM” adalah bahwa peserta didik mampu
menguraikan hakikat HAM, menguraikan hukum atau landasan HAM dan
menguraikan kelembagaan HAM. Jika seperti ini “.Mendiskripsikan hakikat
hukum dan kelembagaan HAM” seakan mendeskripsikan hakikat hukum dan
kelembagaan HAM, hal ini jelas tidak mencapai standar kompetensinya.
8. Rumusan dalam KD tidak ada batasan hanya satu obyek/kajian, melainkan
boleh lebih dari satu. Pemecahan masalah yang diusulkan justru akan
menimbulkan masalah. KD ini sudah jelas yaitu menjelaskan Pancasila
sebagai dasar Negara dan Ideologi negara. Rumusan substansi dalam KD
tidak ada batasan hanya satu, boleh lebih dari satu. Yang tidak boleh kata kerja
ganda maka rumusan KD Mendeskripsikan nilai-nilai Pancasila sebagai
dasar negara dan ideologi negara
9. Dalam kajian pentingnya usaha pembelaan negara kata kerja operasional yang
tepat adalah menjelaskan, karena masih merupakan kajian umum tentang usaha
pembelaan negara.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 25
10. KD Mendeskripsikan perbedaan sistem politik di berbagai negara. memberikan
kelenturan negara yang dipilih. Jika langsung dibatasi akan bersifat kaku.
Kalau dibatasi lebih baik berdasarkan representasi sistem pemerintahan.
11. Fokus KD 2.3 Membandingkan pelaksanaan sistem pemerintahan yang berlaku
di Indonesia dengan negara lain adalah membandingkan sistem presidensial
dan parlementer dengan contoh beberapa negara. Karena perbandingan
antarsistem pemerintahan di Indonesia sudah ada di KD 2.2, maka
perbandingan dengan negara lain dilihat berdasarkan konteks mutakhir.
Perbandingan dengan negara lain bisa saja terbagi atas sistem presidensial dan
parlementer, seperti yang diusulkan. Fokus dari KD 2.3 ini adalah tentang
pelaksanaannya, bukan pada sistem, karena sudah dijelaskan di KD 2.1
12. Sesungguhnya untuk guru-guru SD kelas 1 sampai kelas 3, khususnya di
daerah-daerah mengalami kesulitan dalam menyusun Silabus dan RPP tematik.
Kesulitan itu baik dalam memilih tema yang bisa memayungi semua KD untuk
kelas dan semester yang sama maupun dalam menentukan sekuensa dan
keruntutan materi antarmatapelajaran dalam satu tema. Untuk ini perlu
kegiatan khusus untuk menyerasikan berbagai KD dari berbagai matapelajaran
atau dibuatkan panduan khusus untuk mengatasi hal ini. Kegiatan penyerasian
ini harus juga melihat konteks daerah masing-masing.
13. Oleh karena adanya kesulitan dalam pengembangan program pembelajaran di
SD kelas-kelas awal, khususnya di daerah, maka tentu saja hal ini berimplikasi
terhadapan kegiatan KBM. Kebanyakan guru mengajarkan PKn terpisah dari
yang lain.
14. Untuk SD kelas IV-VI, SMP dan SMP kesulitan dalam pelaksanaan
sesungguhnya lebih pada kurangnya kreativitas dan inovasi dalam
pembelajaran. Khususnya dalam mencari sumber, memilih dan
mengorganisasikan materi sesuai tuntutan KD.
15. Kesulitan riil yang dihadapi guru utamanya adalah dalam melaksanakan
pembelajaran yang partisipatif melalui praktik belajar kearganegaraan, karena
kurangnya dukungan instansi dan masyarakat setempat dan dalam penilaian
yang kurang komprehensif. Oleh karena itu perlu pelatihan khusus untuk itu.
16. Berkait dengan beban belajar dan UN, maka untuk mata pelajaran PKn
haruslah hati-hati dan dipertimbangkan secara matang.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 26
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Hasil kajian Stándar Isi PKn ini memberikan kesimpulan perlunya penyesuaian dalam
beberapa hal, sebagai berikut:
1. Untuk Dokumen Standar Isi:
• Ada rumusan KD yang perlu dihaluskan secara bahasa dan diluruskan secara
konseptual (misalnya bentuk-bentuk kenegaraan pada Kelas X semester 1 KD
1.2 diganti dengan bentuk-bentuk negara.
• Ada beberapa KD yang dikesankan terlalu luas dan tumpang tindih. Meski
sebenarnya tidak sepenuhnya dikatakan demikian, karena penyusunan KD harus
memperhatikan sekuensal dan keruntutan, namun hal ini tetap perlu menjadi
perhatian dan perlu kajian lebih lanjut.
• Ada kata kerja operasional dalam KD yang perlu disesuaikan dengan
perkembangan siswa, tetapi tidak boleh terlalu operasional, karena akan
menyulitkan guru dalam mengembangkan indikator.
• Ada penilaian bahwa rumusan KD kurang memuat aspek afektif (penanaman nilai)
yang menjadi tuntutan PKn sebagai pendidikan nilai atau wahana pembentukan
watak kewargaenagaraan. Sehingga kekurangan ini bisa dipenuhi dalam
pengembangan KTSP di masing-masing sekolah.
• Perlu penyesuaian/sinkronisasi Standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan,
apakah rumusan kompetensi dan subtansi pada stándar Isi sudah sesuai dengan
tuntutan SKL mata pelajaran.
• Ada ketidakruntutan atau overlap antarKD pada kelas yang sama sehingga bisa
dilakukan pengumpulan atau penggabungan KD. Sedangkan untuk kelas yang
berbeda penyesuaiannya bisa dilakukan dalam pengembangan Silabus/KTSP.
Penggabungan ini bisa juga dilakukan dalam penulisan buku, karena penulisan
buku per 1 tahun.
2. Untuk Pelaksanaan Standar Isi:
• Dalam penyusunan dan pengembangan program, untuk kelas 1 – 3 ada kesulitan,
khususnya dalam menyusun silabus dan RPP yang bersifat tematik. Karena
penyusunan SK-KD tidak dilakukan secara bersama-sama dengan mata pelajaran
lain.
• Kesulitan pada penyusunan program pembelajaran untuk SD, SMP, dan SMA
lebih pada kesulitan mencari sumber belajar. Buku-buku yang ada belum
menyesuaikan dengan standar isi, sementara buku-buku pendukung juga tidak
banyak tersedia.
• Pada pelaksanaan pembelajaran kesulitan utama bukan pada implementasi Standar
Isi di dalam kelas, tetapi lebih pada dukungan lembaga setempat atau masyarakat,
khususnya dalam melaksanakan model pembelajaran Praktik Belajar
Kewarganegaraan.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 27
• Waktu yang tersedia untuk pembelajaran PKn di SMA dinilai kurang jika hanya 2
jam pelajaran, apalagi jika menerapkan model pembelajaran Praktik Belajar
Kewarganegaraan. Disarankan untuk ditambah menjadi 4 jam pelajaran.
• Ada usulan agar mata pelajaran PKn kembali masuk menjadi mata pelajaran yang
di-UN-kan, agar memberi bobot lebih pada statu mata pelajaran PKn. Tetapi, hal
ini akan kontradiktif dengan misi PKn sebagai matapelejaran pembentuk
watak/pendidikan nilai yang tidak bisa di-UN-kan yang hanya mengukur aspek
kognitif.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil kajian tersebut ada beberapa rekomendasi yang bisa disampaikan,
baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, sebagai berikut:
1. Untuk Jangka Pendek:
• Perlu penghalusan rumusan KD sehingga tidak dikesankan tumpang tindah dan
memberi batas-batas yang jelas antar KD. Selain itu juga untuk mempertegas
konsep dan nilai yang akan dibelajarkan/ditanamkan.
• Perlu penyesuaian urutan KD dalam beberapa SK dengan memperhatikan logika
penyajian deduktif atau induktif. Untuk SD kelas-kelas awal lebih baik
menggunakan induktif, sedangkan untuk kelas-kelas atas, bisa menggunakan
penyajian deduktif.
• Perlu penyesuaian penggunaan kata kerja operasional (kko) dalam beberapa KD
sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, tetapi jangan menggunakan kko yang
terlalu operasional sehingga menyulitkan guru dalam mengembangkan indikator
pencapaian.
• Perlu dilakukan kegiatan penyerasian antar KD antarmatapelajaran di kelas 1
hingga kelas 3 dalam rangka penyusunan program dan pelaksanaan pembelajaran.
Sehingga guru kelas 1 – 3 mudah mengimplementasikan Standar Isi.
• Perlu Panduan Khusus yang menuntun guru SD kelas 1 – 3 dalam menyusun dan
melaksanakan program secara praktis.
• Usulan tentang penambahan jam pelajaran untuk PKn SMA dari 2 JP menjadi 4 JP
dinilai kontraproduktif dengan misi penyederhanaan dan hal ini perlu
mempertimbangkan mata pelajaran lain.
• Untuk mengatasi masalah buku sumber bagi guru, maka perlu segera menerbitkan
buku teks pelajaran atau buku sumber/pendukung yang sesuai dengan SI PKn.
• Untuk mengatasi kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran PKn, perlu koordinasi
dengan berbagai pihak yang dikoordinasikan oleh kepala sekolah, komite sekolah,
dan guru PKn.
• Persoalan UN untuk matapelajaran PKn perlu dipertimbangkan lebih matang,
karena misi suci PKn adalah pembinaan watak dan karakter yang tidak bisa di-UNkan.
2. Untuk jangka panjang:
• Perlu kajian yang lebih mendalam dan komprehensif untuk memantapkan cakupan
kompetensi dan konten PKn agar sesuai dengan misi utama PKn dan SKL mata
pelajaran PKn.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 28
• Untuk kelas 1 – 3 SD yang menggunakan pendekatan tematik, perlu penyesuaian
dan pengkajian Standar Isi secara bersama pada seluruh mata pelajaran yang
disajikan di kelas 1 hingga kelas 3. Sehingga tidak terjadi kesulitan bagi bagi guru
untuk mengembangkan silabus dan RPP tematik bagi kelas 1 hingga kelas 3.
• Bila perlu bahkan untuk kelas 1 – 3 SD perlu disusun Kurikulum Integratif atau
Kurikulum Terpadu.
DAPTAR KEPUSTAKAAN
Artbuthnot, J.B and Faust, D (1981). Teaching Moral Reasoning: Theory and Practice,
New York: Harper and Row.
Asia Pacific Civic Educators Coinsortium (APCEC) (2000) Teacher Education for
Democratic Citizenship, Penang.
Bahmueller, C. F. (1997) A Framework For Teaching Democratic Citizenship : An
International Project In The International Journal of Social Education, 12,2
Banks, J. A. (1990) Citizenship for a Pluralistic Democratic Society in Rauner, M. (1999)
Civic Education : An Annofated Bibliography, CIVNET.
Beck, C.M., Critender, BS, and Sullivan, E.V. (1981). Moral Education: Interdisciplinary
Approach, Toronto: University of Toronto Press.
Center for Civic Education/CCE (1994) Civitas : National Standards for Civics and
Government, Calabasas : CCE
CIVITAS International (2006) Civic Education, Calabasas: Center for Civic Education
Cogan J.J. and Derricott ,, B.J. (1998) Miltidemensional Civic Education, Tokyo
Cogan, J. J., (1999) Developing the Civic Society : The Role of Civic Education, Bandung :
CICED
Daley, L.C. (1965). Phylosophy, New York: College Notes
Dekdikbud (1986). Kurikulum Pendidikan Moral Pancasila, Jakarta: Balitbang Dikbud.
--------- (1993). Kurikulum Pendidikan Dasar, Jakarta
Derricott, R., Cogan, J. J. (1998) Citizenship for the 21st century : An International
perspective on Education, London : Kogan Page
Duska, R. and Whellan DJ, (1977). Moral Development, London: Bill and Mc Millan.
Djahiri, AR (1993). Laporan Kelompok Bidang Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Jakarta: Balitbang Dikbud.
Feezel, J.D. (1985). Toward A Congluent Taxonomy of Cognitive, Affective, and
Psychomotor Abilities in Communication, 34.
Gandal, M., Finn, Jr. C. E. (1992) Freedom Papers : Teaching Democracy, USA : United
States Information Agency
Hahn, C.L. dan Torney-Purta,J. (1999) The IEA Civic Education Project: National and
International Perspectives, dalam Social Education, 63,7:425-431
Hartonian,H..M.(1992) The Social Studies and Project 2061: An Opportunities for
Harmony, dalam The Social Studies, 83;4:160-163
http://www.civsoc.com/nature/nature1.html: Civic Culture
http://www.socialstudieshelp.com/ APGOV _Notes_WeekFour.htm: Civic Culture
Kerr, D. (1999) Citizenship Education: An international Comparison, London: National
Foundation for Educational Research and Qualifications and Curriculum Authority
Lickona, T. (1992). Educating for Character, New York: Bantam Books.
Mc Neil, J.D. (1977). Curriculum: A Comprehensive Introduction, Boston: Little Brown
and Co.
Newmann, F.M. (1977). Building a Rationales for Civic Education and Shaver, J.P. (1977)
Building Rationales for Citizenship Education, Arlington: NCSS.
Naskah Akademik Kajian Kurikulum PKn – 2007 29
Noor Syam, M. (2006) Pendidikan dan Pembudayaan Moral Filsafat Pancasila, Jakarta:
Panitia Semiloka Pembudayaan Nilai Pancasila, Dit. Dikdas, Ditjen Mandikdasmen
Qualifications and Curriculum Authority-QCA (1998) Education for citizenship and the
teaching of democracy in schools, London: Department of Education and
Employment-DfEE
Quigley, C. N., Buchanan, Jr. J. H., Bahmueller, C. F. (1991) Civitas : A Framework for
Civic Education, Calabasas : Center for Civic Education
Republik Indonesia (2003) Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Jakarta: Depdiknas
---------- (2003) Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Penddikan, Jakarta: Depdiknas
------------(2006) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22 tahun 2006, tentang
Stanndar Isi Jakarta: Depdiknas
----------- (2006) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, nomor 23 tahun 2006, tentang
Kompetensi Lulusan , Jakarta: Depdiknas
Sanusi, A.(1998) Pendidikan Alternatif: Menyentuh Azas Dasar Persoalan Pendidikan
dan Kemasyarakatan, Bandung: PT Grafindo Media Pratama
Shaver, J.P. (1991) Handbook of Research on Social Studies Tecahing and Learning, New
Yorkl: Collier Macmillan
Somantri, N (1968). Pendidikan Kewargaan Negara di Sekolah, Bandung: IKIP.
Simon, S.B. How, L.W. and Kirchenbaunm H (1972). Values Clarification, New York:
Hart Publishing Co.
Sudarsono, J. (1999) Fostering Democratic Living : The Roles of Governmental and
Community Agencies, Bandung : CICED
Tolo,K.W. (1998) An Assessment of We The People Project Citizen: Promoting
Citizenship in Classroom and Communities, Austin: The Board of Regents University
of Texas
Winataputra, U.S. (1978). A pilot Study of Implementation of the Area of Learning Moral
Education of Pancasila in the 1975 SMA Curiculum in the Bandung Area
(Postgraduate Project) Sydney: Macquarie University
---------- (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pendidikan
Demokrasi, (Disertasi) Bandung: universitas Pendidikan Indonesia.
---------- (2005) Konsep dan Strategi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi:
Tinjauan Psiko-Pedagogis dan Sosioandragogis, Jakarta: Dijen Pendidikan Tinggi
(Bahan SUSCADOS Dikwar)
----------- (2006) Konsep dan Strategi Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah: Tinjauan
Psiko-Pedagogis, Jakarta: Panitia Semiloka Pembudayaan Nilai Pancasila, Dit. Dikdas,
Ditjen Mandikdasmen (Makalah)
----------. (2006) Pendidikan Kesadaran Kehidupan Kerkonstitusi, Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Juni 2006
Post by Karsam Sunaryo
http://www.formulabisnis.com/id=samsam86
http://www.liany-jewelry.com/
http://www.perpusol-samsam.blogspot.com/
Selasa, Maret 17, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar